Translate

Jumat, 13 Maret 2015

FIQIH MUNAKAHAT (TUGAS FIQIH)



BAB I
PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang Masalah
 Adapun makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas dari mata kuliah Fiqih, yang memuat pembahasan mengenai permasalahan Nikah. Melihat banyaknya anak muda yang bergaul dengan bebas control, membuat mereka terjerumus ke hal yang tidak diinginkan. Akibatnya mereka terpaksa harus menikah. Dan kebanyakan pernikahan yang secara terpaksa tersebut berakhir dengan perceraian. Sehingga momen pernikahan yang seharusnya sebagai tempat kehidupan baru, dianggap biasa saja. Untuk itu disini penulis akan membahas masalah nikah lebih dalam, sehingga para pembaca tidak salah memilih.
1.1  Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas maka penulis merumuskan masalah yaitu sebagai berikut :
  1. Pengertian nikah.
  2. Rukun dan syarat – syarat nikah.
  3. Prinsip – prinsip pernikahan.
1.2  Tujuan dan Manfaat Penulisan
Adapun tujuan penulisan tugas kelompok ini adalah sebagai berikut:
  1. Untuk memenuhi tugas yang telah diberikan.
  2. Untuk menambah wawasan dan ilmu mengenai pernikahan.







BAB II
PEMBAHASAN

A.                PENGERTIAN NIKAH

  Dalam bahasa Indonesia , perkawinan berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis ; melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh.[1]
 Menurut istilah hukum islam adalah :
Perkawinan menerut syara’ yaitu akad yang di tetapkan syara’ untuk membolehkan bersenang – senang antara laki – laki dengan perempuan dan menghalalkan bersenang – senangnya perempuan dengan laki – laki.
      Nikah adalah salah satu asa pokok hidup yang terutama dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna. Nikah artinya “ suatu akad yang mehalalkan pergaulan antara seorang laki – laki dan perempuan yang bukan muhrim dan menimbulkan hak dan kewajiban antara keduanya.” Bukan saja perkawinan itu satu jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga da turunan, tetapi perkawinan dapat dipandang sebagai satu jalan menuju pintu perkenalan antara satu kaum dengan yang lain, serta perkenalan itu akan menjadi jalan buat menyampaikan bertolong – tolongan antara satu dengan yang lainnya.
      Pertalian nikah adalah pertalian yang seteguh – teguhnya dalam kehidupan manusia. Pergaulan antara sumai dan istri yang saling mengasihi, akan mendatangkan kebaikan kepada semua keluarga dari kedua belah pihaknya, sehingga mereka menjadi satu dalam segala urusan bertolong – tolongan sesamanya dalam menjalankan kebaikan dan menjaga segala kejahatan. Selain itu, dengan perkawinan seseorang akan terpelihara dari kebinasaan hawa nafsunya.



Ta’arif perkawinan ialah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta bertolongan – tolongan antara seorang laki – laki dan seorang perempuan yan antara keduanya bukan muhrim.
Firman Allah,[2]
Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil[265], Maka (kawinilah) seorang saja[266], atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

[265] Berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni isteri seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah.
[266] Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. sebelum turun ayat ini poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh Para Nabi sebelum Nabi Muhammad s.a.w. ayat ini membatasi poligami sampai empat orang saja.

 Menurut undang-undang nomor 1 tahun1974 tentang perkawinan bab 1 pasal 1 menetapkan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri degan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal bardasakan Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut pasal 2 ayat 1 undang-undang ini perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya itu.

Sampai disini keterangannya sangat jelas bahwa perkawinan itu adalah urasan agama yang diatur oleh negara dengan berbagai peraturan dan perundang-undangan.

v  Sikap agama islam terhadap perkawinan
 Di dalam al – qur’an dinyatakan bahwa hidup berpasang – pasangan, hidup berjodoh – jodoh adalah naluri segala makhluk allah, termasuk manusia.
Dari makhluk yang diciptakan Allah SWT berpasang – pasangan inilah Allah SWT menciptakan manusia menjadi berkembang biak dan berlangsung dari generasi ke generasi berikutnya,
Firman Allah,[3]
1. Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya[263] Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain[264], dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.

[263] Maksud dari padanya menurut jumhur mufassirin ialah dari bagian tubuh (tulang rusuk) Adam a.s. berdasarkan hadis riwayat Bukhari dan Muslim. di samping itu ada pula yang menafsirkan dari padanya ialah dari unsur yang serupa Yakni tanah yang dari padanya Adam a.s. diciptakan.
[264] Menurut kebiasaan orang Arab, apabila mereka menanyakan sesuatu atau memintanya kepada orang lain mereka mengucapkan nama Allah seperti :As aluka billah artinya saya bertanya atau meminta kepadamu dengan nama Allah.


Berkeluarga yang baik menurut islam sangat menunjang untuk menuju kepada kesejahteraan, termasuk dalam mencari rezeki allah.

v  Hukum – hukum melakukan perkawinan :

1.      Melakukan perkawinan yang hukumnya wajib[4]

 Bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk kawin dan dikhawatirkan akan tergelincir pada perbuatan zina seandainya tidak kawin maka hukum melakukan perkawinan bagi orang tersebut adalah wajib.

2.      Melakukan perkawinan yang hukumnya sunnat[5]

 Orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk melangsungkan perkawinan , tetapi kalau tidak kawin tidak dikhawatirkan akan berbuat zina, maka melakukan perkawinan bagi orang tersebut adalah sunnat.

3.      Melakukan perkawinan yang hukumnya haram[6]

 Bagi orang yang tidak mempunyai keinginan dan tidak mempunyai kemampuan serta tanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban – kewajiban dalam rumah tangga sehingga apabila melangsungkan perkawinan akan terlantarlah dirinya dan istrinya, maka hukum melakukan perkawinan bagi orang tersebut adalah haram.






Firman Allah :[7]
195. Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.

4.      Melakukan perkawinan yang hukumnya makruh[8]

 Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukan perkawinan juga cukup mempunyai kemampuan untuk menahan diri sehingga tidak memungkinkan dirinya tergelincir berbuat zina sekiranya tidak kawin.

5.      Melakukan perkawinan yang hukumnya mubah[9]

 Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukannya, tetapi apabila tidak melakukannya tidak khawatir akan berbuat zina dan apabila melakukannya juga tidak akan menelantarkan istri.

v  syarat – syarat pengantin laki – laki dan perempuan
a.       Syarat pengantin laki – laki :
1.      Tidak dipaksa / terpaksa.
2.      Tidak dalam ihram haji atau ‘umrah.
3.      Islam ( apabila kawin dengan perempuan Islam )

b.      Syarat pengantin perempuan :
1.      Bukan perempuan yang dalam ’iddah.
2.      Tidak dalam ikatan perkawinan dengan orang lain.
3.      Antara laki – laki dan perempuan tersebut bukan muhrim.
4.      Tidak di dalam keadaan ihramhaji dan ’umrah.
5.      Bukan perempuan musyrik.

 Barang siapa yang ingin menikah maka pilihlah calon istri yang memiliki sifat dan kriteria sebagai berikut :
  1. Perempuan yang ta’at beragama, ini didasarkan pada Hadist: Abu Hurairah
 Dari Abu Hurairah dari Nabi, Beliau bersabda,
” Perempuan dinikahi karena empat faktor : pertama karena harta bendanya, kedua karena kemulyaan leluhurnya, ketiga karena kecantikkannya, dan keempat karena kepatuhannyakepada agamanya, maka utamakanlah perempuan yang ta’at kepada agamanya; jika tidak, pasti celakalah kamu.”
  1. Sebaiknya perawan, kecuali memang ada kemashlahatan sehingga patut menikah dengan janda.
Dari Anas dari Nabi, bersabda,
”Kawinlah perempuan yang penyayang lagi subur, karena sesunguhnya aku merasa bangga dengan besarnya jumlah kalian di hadapan umat – umat lain.”
            Seorang wanita juga wajib dalam menjatuhkan pilihanya pada calon suami yang shalih untuk dinikahi. Dalam sabda nabi,
      Dari Abu Hatim al – Muzanni bahwa Rasulullah bersabda.
” Manakala ada orang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya datang kepada kalian ( untuk melamar puteri kalian ). Maka hendaklah nikahlah ia ( dengan puterimu ); jika tidak niscaya terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan besar.”





B.                 Rukun dan syarat nikah

v  Pengertian rukun, syarat dan sah[10]
            Rukun yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya  suatu pekerjaan ( ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu.
            Syarat yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan ( ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu.
            Sah yaitu sesuatu pekerjaan ( ibadah ) yang memenuhi rukun dan syarat.

v  Rukun perkawinan
a.       Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan perkawinan.
b.      Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita.
c.       Adanya dua orang saksi
d.      Sighat akad nikah, yaitu ijab Kabul yang diucapkan oleh wali atau wakilnya dari pihak wanita, dan dijawab oleh calon pengantin laki – laki.

Tentang rukun nikah para ulama berbeda pendapat :
ü  Imam malik mengatakan bahwa rukun nikah itu ada lima macam, yaitu :
-          Wali dari pihak perempuan
-          Mahar
-          Calon pengntin laki – laki
-          Calon pengantin perempuan
-          Sighat akad nikah

ü  Imam syafi’i berkata bahwa rukun nikah itu da lima macam ,
yaitu :
-          Calon pengantin laki – laki
-          Calon pengantin perempuan
-          Wali
-          Dua orang saksi
-          Akad nikah

ü  Menurut ulama hanafiyah, rukun itu hanyalah ijab dan qabul saja. Sedangkan menurut segolongan yang lain rukun nikah itu ada empat , yaitu :
-          Sighat
-          Calon pengantin perempuan
-          Calon pengantin laki- laki
-           Wali dari pihak calon pengantin perenpuan

v  Syarat sah nya perkawinan[11]
§  Wali
§  Saksi
§  mahar
Adapun syarat nikah adalah sebagai berikut:
ü  Syarat pertama:
 Kepastian siapa mempelai laki-laki dan siapa mempelai wanita dengan isyarat (menunjuk) atau menyebutkan nama atau sifatnya yang khusus/khas. Sehingga tidak cukup bila seorang wali hanya mengatakan, “Aku nikahkan engkau dengan putriku”, sementara ia memiliki beberapa orang putri.
ü  Syarat kedua:
 Keridhaan dari masing-masing pihak, dengan dalil hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu secara marfu’:
“Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak musyawarah/dimintai pendapat, dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan sampai dimintai izinnya.” (HR. Al-Bukhari  dan Muslim)
Terkecuali bila si wanita masih kecil, belum baligh, maka boleh bagi walinya menikahkannya tanpa seizinnya.
ü  Syarat ketiga:
  Adanya wali bagi calon mempelai wanita, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
 “Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali.”
(HR. Al-Khamsah)
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
 “Wanita mana saja yang menikah tanpa izin wali-walinya maka nikahnya batil, nikahnya batil, nikahnya batil.”
 (HR. Abu Dawud)
Apabila seorang wanita menikahkan dirinya sendiri tanpa adanya wali maka nikahnya batil, tidak sah. Demikian pula bila ia menikahkan wanita lain. Ini merupakan pendapat jumhur ulama dan inilah pendapat yang rajih. Diriwayatkan hal ini dari ‘Umar, ‘Ali, Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, Abu Hurairah dan Aisyah radhiyallahu ‘anhum. Demikian pula pendapat yang dipegangi oleh Sa’id ibnul Musayyab, Al-Hasan Al-Bashri, ‘Umar bin Abdil ‘Aziz, Jabir bin Zaid, Ats-Tsauri, Ibnu Abi Laila, Ibnu Syubrumah, Ibnul Mubarak, Ubaidullah Al-’Anbari, Asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, dan Abu ‘Ubaid rahimahumullah. Al-Imam Malik juga berpendapat seperti ini dalam riwayat Asyhab. Adapun Abu Hanifah menyelisihi pendapat yang ada, karena beliau berpandangan boleh bagi seorang wanita menikahkan dirinya sendiri ataupun menikahkan wanita lain, sebagaimana ia boleh menyerahkan urusan nikahnya kepada selain walinya.
v  Wali dalam Pernikahan
Ulama berbeda pendapat dalam masalah wali bagi wanita dalam pernikahannya. Adapun jumhur ulama, di antara mereka adalah Al-Imam Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan selainnya berpandangan bahwa wali nasab seorang wanita dalam pernikahannya adalah dari kalangan ‘ashabah, yaitu kerabat dari kalangan laki-laki yang hubungan kekerabatannya dengan si wanita terjalin dengan perantara laki-laki (bukan dari pihak keluarga perempuan atau keluarga ibu tapi dari pihak keluarga ayah/laki-laki), seperti ayah, kakek dari pihak ayah, saudara laki-laki, paman dari pihak ayah, anak laki-laki paman dari pihak ayah, dan seterusnya.
 Dengan demikian ayahnya ibu (kakek), saudara perempuan ibu (paman/khal), saudara laki-laki seibu, dan semisalnya, bukanlah wali dalam pernikahan, karena mereka bukan ‘ashabah tapi dari kalangan dzawil arham.
Di antara sekian wali, maka yang paling berhak untuk menjadi wali si wanita adalah ayahnya, kemudian kakeknya (bapak dari ayahnya) dan seterusnya ke atas (bapaknya kakek, kakeknya kakek, dst.) Setelah itu, anak laki-laki si wanita, cucu laki-laki dari anak laki-lakinya, dan terus ke bawah. Kemudian saudara laki-lakinya yang sekandung atau saudara laki-laki seayah saja. Setelahnya, anak-anak laki-laki mereka (keponakan dari saudara laki-laki) terus ke bawah. Setelah itu barulah paman-paman dari pihak ayah, kemudian anak laki-laki paman dan terus ke bawah. Kemudian paman-paman ayah dari pihak kakek (bapaknya ayah). Setelahnya adalah maula (orang yang memerdekakannya dari perbudakan), kemudian yang paling dekat ‘ashabah-nya dengan si maula. Setelah itu barulah sulthan/penguasa. Bila seorang wanita tidak memiliki wali nasab atau walinya enggan menikahkannya, maka hakim/penguasa memiliki hak perwalian atasnya dengan dalil sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
 “Maka sulthan (penguasa) adalah wali bagi wanita yang tidak memiliki wali.” (HR. Abu Dawud)

v  Syarat-syarat Wali
Ulama menyebutkan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang wali:
1. Laki-laki
2. Berakal
3. Beragama Islam
4. Baligh
5. Tidak sedang berihram haji ataupun umrah, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Seorang yang sedang berihram tidak boleh menikahkan, tidak boleh dinikahkan, dan tidak boleh mengkhitbah.” (HR. Muslim)
 Syarat wali yang berikutnya adalah memiliki ’adalah yaitu dia bukan seorang pendosa, bahkan ia terhindar dari melakukan dosa-dosa besar seperti mencuri, berzina, minum khamr, membunuh, makan harta anak yatim, dan semisalnya. Di samping itu, dia tidak terus-menerus tenggelam dalam dosa-dosa kecil dan tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak sepantasnya. Pensyaratan ‘adalah ini merupakan salah satu dari dua riwayat dalam mazhab Hanabilah dan merupakan pendapat yang kuat dalam mazhab Syafi’iyyah.
 Adapun Hanafiyyah memandang seorang yang fasik tidaklah hilang haknya sebagai wali, kecuali bila kefasikannya tersebut sampai pada batasan ia berani terang-terangan berbuat dosa.
Demikian pula Malikiyyah berpandangan seorang yang fasik tidak hilang haknya sebagai wali. Adapun ‘adalah hanyalah syarat penyempurna bagi wali, sehingga bila ada dua wali yang sama derajatnya, yang satu fasik sedangkan yang satu memiliki ‘adalah, seperti seorang wanita yang tidak lagi memiliki ayah dan ia memiliki dua saudara laki-laki, satunya fasik sedangkan yang satunya adil, tentunya yang dikedepankan adalah yang memiliki ‘adalah.
v  Mahar Dalam Pernikahan
Syarat – syarat mahar :
1.                  Benda yang suci, atau hasil dari pekerjaan yang bermanfaaat.
2.                  Milik suami.
3.                  Ada manfaatnya.
4.                  Sanggup menyerahkan; mahar tidak sah dengan benda yang sedang dirampas orang dan tidak sanggup menyerahkannya.
5.                  Dapat diketahui sifat dan jumlahnya.

C.                Prinsip – prinsip perkawinan[12]

Adapun prinsip – prinsip perkawinan dalam islam antara lain :
1.      Memenuhi dan melaksanakan perintah agama
2.      Kerelaan dan persetujuan
3.      Perkawinan untuk selamanya
4.      Suami sebagai penanggung jawab umum dalam rumah tangga


Hikmah perkawinan
v  Dengan pernikahan maka banyaklah keturunan.
v  Keadaan hidup manusia tidak akan tentram kecuali jika keadaan rumah tangganya teratur.
v  Laki – laki dan perempuan adalah dua sekutu yang berfungsi memakmurkan dunia masing – masing dengan cirri khasnya berbuat dengan berbagai macam pekerjaan.
v  Sesuai dengan tabiatnya , manusia itu cenderung mengasihi orang yang dikasihi
v  Manusia diciptakan dengan memiliki rasa gairah (kecemburuan ) untuk menjaga kehormatan dan kemuliaannya.
v  Perkawinan akan memelihara keturunan serta menjaganya.
v  Berbuat baik yang lebih banyak lebih baik dari pada berbuat baik sedikit.
v  Manusia itu jika telah mati maka terputuslah seluruh amal perbuatannya yang mendatangkan rahmat dan pahala kepadanya, namun apabila masih meninggalkan anak, dan istri mereka akan mendoakannya dengan kebaikan hingga amalnya tidak terputus dan pahalanya pun tidak di tolak
.























BAB III
PENUTUP

1.      Kesimpulan
 Dari uraian yang  telah disajikan, maka pada bab terakhir ini penulis mencoba menguraikan beberapa kesimpulan – kesimpulan yang penulis ambil selama pembuatan makalah ini. Bab ini juga merupakan bab terakhir dari tugas ini.
1.            Pernikahan merupakan suatu ikatan lahir antara dua orang, laki – laki dan perempuan, untuk hidup bersama dalam suatu rumah tangga dan keturunan yang dilangsungkan menurut ketentuan – ketentuan syari’at agama Islam.
2.            Bagi mereka yang memang sudah mampu untuk menikah dan sudah memilki calon pasangan yang sholeh atau sholehah insya allah, maka jangan menunda pernikahan tersebut.

2.      Saran
Apabila terdapat kesalahan dalam penyusunan makalah ini baik sengaja maupun tidak, penulis meminta maaf. Karena itu, kritik dan saran sangat diperlukan untuk memperbaiki makalah ini. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.











DAFTAR PUSTAKA

Abu al majdi,ahmad.2007.Bidayatul mujtahid.Jakarta:pustaka azzam
Ghozali,abdul rahman.2008.fiqih munakahat.Jakarta:kencana



[1] ghozali,abdul rahman.fiqih munakahat.(Jakarta:kencana,2008)h.7
[2] QS.an-nisa 3
[3]  QS.an- nisa’ ayat 1.
[4] ghozali,abdul rahman.fiqih munakahat.(Jakarta:kencana,2008)h.18
[5] ghozali,abdul rahman.fiqih munakahat.(Jakarta:kencana,2008)h.19
[6] . ghozali,abdul rahman.fiqih munakahat.(Jakarta:kencana,2008)h.20
[7]QS.al – baqarah 195

[8] ghozali,abdul rahman.fiqih munakahat.(Jakarta:kencana,2008)h.21

[9] ghozali,abdul rahman.fiqih munakahat.(Jakarta:kencana,2008)h.21

[10] ghozali,abdul rahman.fiqih munakahat.(Jakarta:kencana,2008)h.45

[11] Abu al majdi,ahmad.Bidayatul mujtahid.(Jakarta:pustaka azzam,2007)h.14,31,33
[12] ghozali,abdul rahman.fiqih munakahat.(Jakarta:kencana,2008)h.32

Tidak ada komentar:

Posting Komentar