BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang Masalah
Adapun makalah ini
dibuat untuk memenuhi tugas dari mata kuliah Fiqih, yang memuat pembahasan
mengenai permasalahan Nikah. Melihat banyaknya anak muda yang bergaul dengan
bebas control, membuat mereka terjerumus ke hal yang tidak diinginkan.
Akibatnya mereka terpaksa harus menikah. Dan kebanyakan pernikahan yang secara
terpaksa tersebut berakhir dengan perceraian. Sehingga momen pernikahan yang
seharusnya sebagai tempat kehidupan baru, dianggap biasa saja. Untuk itu disini
penulis akan membahas masalah nikah lebih dalam, sehingga para pembaca tidak
salah memilih.
1.1 Perumusan Masalah
Berdasarkan
uraian pada latar belakang masalah di atas maka penulis merumuskan masalah
yaitu sebagai berikut :
- Pengertian nikah.
- Rukun dan syarat – syarat nikah.
- Prinsip – prinsip pernikahan.
1.2 Tujuan dan Manfaat Penulisan
Adapun tujuan penulisan tugas kelompok ini adalah sebagai
berikut:
- Untuk memenuhi tugas yang telah diberikan.
- Untuk menambah wawasan dan ilmu mengenai pernikahan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN
NIKAH
Dalam bahasa Indonesia , perkawinan berasal
dari kata “kawin” yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan
jenis ; melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh.[1]
Menurut istilah hukum islam adalah
:
Perkawinan
menerut syara’ yaitu akad yang di tetapkan syara’ untuk membolehkan bersenang –
senang antara laki – laki dengan perempuan dan menghalalkan bersenang –
senangnya perempuan dengan laki – laki.
Nikah adalah salah satu asa pokok hidup
yang terutama dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna. Nikah artinya “
suatu akad yang mehalalkan pergaulan antara seorang laki – laki dan perempuan
yang bukan muhrim dan menimbulkan hak dan kewajiban antara keduanya.” Bukan
saja perkawinan itu satu jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga
da turunan, tetapi perkawinan dapat dipandang sebagai satu jalan menuju pintu
perkenalan antara satu kaum dengan yang lain, serta perkenalan itu akan menjadi
jalan buat menyampaikan bertolong – tolongan antara satu dengan yang lainnya.
Pertalian nikah adalah pertalian yang
seteguh – teguhnya dalam kehidupan manusia. Pergaulan antara sumai dan istri
yang saling mengasihi, akan mendatangkan kebaikan kepada semua keluarga dari
kedua belah pihaknya, sehingga mereka menjadi satu dalam segala urusan bertolong
– tolongan sesamanya dalam menjalankan kebaikan dan menjaga segala kejahatan.
Selain itu, dengan perkawinan seseorang akan terpelihara dari kebinasaan hawa
nafsunya.
Ta’arif perkawinan ialah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi
hak dan kewajiban serta bertolongan – tolongan antara seorang laki – laki dan
seorang perempuan yan antara keduanya bukan muhrim.
Firman Allah,[2]
Dan jika kamu
takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim
(bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
Berlaku adil[265], Maka (kawinilah) seorang saja[266], atau budak-budak yang
kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
[265] Berlaku
adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni isteri seperti pakaian, tempat,
giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah.
[266] Islam
memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. sebelum turun ayat ini
poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh Para Nabi sebelum Nabi
Muhammad s.a.w. ayat ini membatasi poligami sampai empat orang saja.
Menurut undang-undang nomor 1 tahun1974
tentang perkawinan bab 1 pasal 1 menetapkan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir
batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri degan
tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal bardasakan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut pasal 2 ayat 1 undang-undang ini perkawinan
adalah sah apabila dilakukan menurut masing-masing hukum agamanya dan
kepercayaannya itu.
Sampai
disini keterangannya sangat jelas bahwa perkawinan itu adalah urasan agama yang
diatur oleh negara dengan berbagai peraturan dan perundang-undangan.
v
Sikap
agama islam terhadap perkawinan
Di dalam al – qur’an dinyatakan
bahwa hidup berpasang – pasangan, hidup berjodoh – jodoh adalah naluri segala
makhluk allah, termasuk manusia.
Dari makhluk
yang diciptakan Allah SWT berpasang – pasangan inilah Allah SWT menciptakan
manusia menjadi berkembang biak dan berlangsung dari generasi ke generasi
berikutnya,
Firman Allah,[3]
1. Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah
menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya[263] Allah menciptakan
isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan
perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan)
nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain[264], dan (peliharalah) hubungan
silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.
[263] Maksud
dari padanya menurut jumhur mufassirin ialah dari bagian tubuh (tulang rusuk)
Adam a.s. berdasarkan hadis riwayat Bukhari dan Muslim. di samping itu ada pula
yang menafsirkan dari padanya ialah dari unsur yang serupa Yakni tanah yang
dari padanya Adam a.s. diciptakan.
[264] Menurut
kebiasaan orang Arab, apabila mereka menanyakan sesuatu atau memintanya kepada
orang lain mereka mengucapkan nama Allah seperti :As aluka billah artinya saya
bertanya atau meminta kepadamu dengan nama Allah.
Berkeluarga yang
baik menurut islam sangat menunjang untuk menuju kepada kesejahteraan, termasuk
dalam mencari rezeki allah.
v
Hukum –
hukum melakukan perkawinan :
1.
Melakukan perkawinan yang hukumnya wajib[4]
Bagi orang yang telah mempunyai
kemauan dan kemampuan untuk kawin dan dikhawatirkan akan tergelincir pada
perbuatan zina seandainya tidak kawin maka hukum melakukan perkawinan bagi
orang tersebut adalah wajib.
2.
Melakukan perkawinan yang hukumnya sunnat[5]
Orang yang telah mempunyai kemauan
dan kemampuan untuk melangsungkan perkawinan , tetapi kalau tidak kawin tidak
dikhawatirkan akan berbuat zina, maka melakukan perkawinan bagi orang tersebut
adalah sunnat.
3.
Melakukan perkawinan yang hukumnya haram[6]
Bagi orang yang tidak mempunyai
keinginan dan tidak mempunyai kemampuan serta tanggung jawab untuk melaksanakan
kewajiban – kewajiban dalam rumah tangga sehingga apabila melangsungkan
perkawinan akan terlantarlah dirinya dan istrinya, maka hukum melakukan
perkawinan bagi orang tersebut adalah haram.
Firman Allah :[7]
195. Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu
menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.
4.
Melakukan perkawinan yang hukumnya makruh[8]
Bagi orang yang mempunyai
kemampuan untuk melakukan perkawinan juga cukup mempunyai kemampuan untuk
menahan diri sehingga tidak memungkinkan dirinya tergelincir berbuat zina
sekiranya tidak kawin.
5.
Melakukan perkawinan yang hukumnya mubah[9]
Bagi orang yang mempunyai
kemampuan untuk melakukannya, tetapi apabila tidak melakukannya tidak khawatir
akan berbuat zina dan apabila melakukannya juga tidak akan menelantarkan istri.
v
syarat – syarat pengantin laki – laki dan
perempuan
a.
Syarat pengantin laki – laki :
1.
Tidak dipaksa / terpaksa.
2.
Tidak dalam ihram haji atau ‘umrah.
3. Islam ( apabila kawin dengan perempuan
Islam )
b. Syarat pengantin perempuan :
1. Bukan perempuan yang dalam ’iddah.
2. Tidak dalam ikatan perkawinan dengan orang
lain.
3. Antara laki – laki dan perempuan tersebut
bukan muhrim.
4. Tidak di dalam keadaan ihramhaji dan
’umrah.
5. Bukan perempuan musyrik.
Barang siapa yang ingin menikah maka pilihlah
calon istri yang memiliki sifat dan kriteria sebagai berikut :
- Perempuan yang ta’at beragama, ini didasarkan pada Hadist: Abu Hurairah
Dari Abu Hurairah dari Nabi, Beliau bersabda,
” Perempuan dinikahi karena empat faktor : pertama karena harta bendanya,
kedua karena kemulyaan leluhurnya, ketiga karena kecantikkannya, dan keempat
karena kepatuhannyakepada agamanya, maka utamakanlah perempuan yang ta’at
kepada agamanya; jika tidak, pasti celakalah kamu.”
- Sebaiknya perawan, kecuali memang ada kemashlahatan sehingga patut menikah dengan janda.
Dari Anas dari Nabi, bersabda,
”Kawinlah perempuan yang penyayang lagi subur, karena sesunguhnya aku
merasa bangga dengan besarnya jumlah kalian di hadapan umat – umat lain.”
Seorang
wanita juga wajib dalam menjatuhkan pilihanya pada calon suami yang shalih
untuk dinikahi. Dalam sabda nabi,
Dari Abu Hatim al – Muzanni bahwa
Rasulullah bersabda.
”
Manakala ada orang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya datang kepada kalian
( untuk melamar puteri kalian ). Maka hendaklah nikahlah ia ( dengan puterimu
); jika tidak niscaya terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan besar.”
B.
Rukun dan
syarat nikah
v
Pengertian
rukun, syarat dan sah[10]
Rukun yaitu sesuatu yang mesti ada
yang menentukan sah dan tidaknya suatu
pekerjaan ( ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu.
Syarat yaitu sesuatu yang mesti ada
yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan ( ibadah), tetapi sesuatu itu
tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu.
Sah yaitu sesuatu pekerjaan ( ibadah
) yang memenuhi rukun dan syarat.
v
Rukun
perkawinan
a.
Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan
perkawinan.
b.
Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita.
c.
Adanya dua orang saksi
d.
Sighat akad nikah, yaitu ijab Kabul yang diucapkan oleh
wali atau wakilnya dari pihak wanita, dan dijawab oleh calon pengantin laki –
laki.
Tentang
rukun nikah para ulama berbeda pendapat :
ü
Imam
malik mengatakan bahwa rukun nikah itu ada lima macam, yaitu :
-
Wali dari pihak perempuan
-
Mahar
-
Calon pengntin laki – laki
-
Calon pengantin perempuan
-
Sighat akad nikah
ü
Imam
syafi’i berkata bahwa rukun nikah itu da lima macam ,
yaitu :
-
Calon pengantin laki – laki
-
Calon pengantin perempuan
-
Wali
-
Dua orang saksi
-
Akad nikah
ü
Menurut
ulama hanafiyah, rukun itu hanyalah ijab dan qabul saja. Sedangkan menurut
segolongan yang lain rukun nikah itu ada empat , yaitu :
-
Sighat
-
Calon pengantin perempuan
-
Calon pengantin laki- laki
-
Wali dari pihak
calon pengantin perenpuan
v
Syarat
sah nya perkawinan[11]
§
Wali
§
Saksi
§
mahar
Adapun syarat nikah adalah sebagai berikut:
ü Syarat pertama:
Kepastian
siapa mempelai laki-laki dan siapa mempelai wanita dengan isyarat (menunjuk)
atau menyebutkan nama atau sifatnya yang khusus/khas. Sehingga tidak cukup bila
seorang wali hanya mengatakan, “Aku nikahkan engkau dengan putriku”, sementara
ia memiliki beberapa orang putri.
ü Syarat kedua:
Keridhaan
dari masing-masing pihak, dengan dalil hadits Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu secara marfu’:
“Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia
diajak musyawarah/dimintai pendapat, dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan
sampai dimintai izinnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Terkecuali bila si wanita masih kecil, belum baligh, maka boleh bagi
walinya menikahkannya tanpa seizinnya.
ü Syarat ketiga:
Adanya wali bagi calon mempelai wanita, karena
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tidak ada nikah kecuali dengan adanya
wali.”
(HR. Al-Khamsah)
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
“Wanita mana saja yang menikah tanpa
izin wali-walinya maka nikahnya batil, nikahnya batil, nikahnya batil.”
(HR. Abu Dawud)
Apabila seorang
wanita menikahkan dirinya sendiri tanpa adanya wali maka nikahnya batil, tidak
sah. Demikian pula bila ia menikahkan wanita lain. Ini merupakan pendapat
jumhur ulama dan inilah pendapat yang rajih. Diriwayatkan hal ini dari ‘Umar,
‘Ali, Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, Abu Hurairah dan Aisyah radhiyallahu ‘anhum.
Demikian pula pendapat yang dipegangi oleh Sa’id ibnul Musayyab, Al-Hasan
Al-Bashri, ‘Umar bin Abdil ‘Aziz, Jabir bin Zaid, Ats-Tsauri, Ibnu Abi Laila,
Ibnu Syubrumah, Ibnul Mubarak, Ubaidullah Al-’Anbari, Asy-Syafi’i, Ahmad,
Ishaq, dan Abu ‘Ubaid rahimahumullah. Al-Imam Malik juga berpendapat
seperti ini dalam riwayat Asyhab. Adapun Abu Hanifah menyelisihi pendapat yang
ada, karena beliau berpandangan boleh bagi seorang wanita menikahkan dirinya
sendiri ataupun menikahkan wanita lain, sebagaimana ia boleh menyerahkan urusan
nikahnya kepada selain walinya.
v Wali
dalam Pernikahan
Ulama berbeda
pendapat dalam masalah wali bagi wanita dalam pernikahannya. Adapun jumhur
ulama, di antara mereka adalah Al-Imam Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan selainnya
berpandangan bahwa wali nasab seorang wanita dalam pernikahannya adalah dari
kalangan ‘ashabah, yaitu kerabat dari kalangan laki-laki yang hubungan
kekerabatannya dengan si wanita terjalin dengan perantara laki-laki (bukan dari
pihak keluarga perempuan atau keluarga ibu tapi dari pihak keluarga
ayah/laki-laki), seperti ayah, kakek dari pihak ayah, saudara laki-laki, paman
dari pihak ayah, anak laki-laki paman dari pihak ayah, dan seterusnya.
Dengan demikian ayahnya ibu (kakek), saudara
perempuan ibu (paman/khal), saudara laki-laki seibu, dan semisalnya,
bukanlah wali dalam pernikahan, karena mereka bukan ‘ashabah tapi dari
kalangan dzawil arham.
Di antara
sekian wali, maka yang paling berhak untuk menjadi wali si wanita adalah
ayahnya, kemudian kakeknya (bapak dari ayahnya) dan seterusnya ke atas
(bapaknya kakek, kakeknya kakek, dst.) Setelah itu, anak laki-laki si wanita,
cucu laki-laki dari anak laki-lakinya, dan terus ke bawah. Kemudian saudara
laki-lakinya yang sekandung atau saudara laki-laki seayah saja. Setelahnya,
anak-anak laki-laki mereka (keponakan dari saudara laki-laki) terus ke bawah.
Setelah itu barulah paman-paman dari pihak ayah, kemudian anak laki-laki paman
dan terus ke bawah. Kemudian paman-paman ayah dari pihak kakek (bapaknya ayah).
Setelahnya adalah maula (orang yang memerdekakannya dari perbudakan),
kemudian yang paling dekat ‘ashabah-nya dengan si maula. Setelah itu barulah sulthan/penguasa.
Bila seorang wanita tidak memiliki wali nasab atau walinya enggan
menikahkannya, maka hakim/penguasa memiliki hak perwalian atasnya dengan dalil
sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Maka sulthan (penguasa) adalah wali bagi wanita
yang tidak memiliki wali.” (HR. Abu Dawud)
v Syarat-syarat
Wali
Ulama menyebutkan beberapa
syarat yang harus dipenuhi oleh seorang wali:
1. Laki-laki
2. Berakal
3. Beragama Islam
4. Baligh
5. Tidak sedang berihram haji ataupun umrah, karena Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
“Seorang yang sedang berihram tidak boleh
menikahkan, tidak boleh dinikahkan, dan tidak boleh mengkhitbah.” (HR. Muslim)
Syarat wali
yang berikutnya adalah memiliki ’adalah yaitu dia bukan seorang
pendosa, bahkan ia terhindar dari melakukan dosa-dosa besar seperti mencuri,
berzina, minum khamr, membunuh, makan harta anak yatim, dan semisalnya. Di
samping itu, dia tidak terus-menerus tenggelam dalam dosa-dosa kecil dan tidak
melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak sepantasnya. Pensyaratan ‘adalah ini
merupakan salah satu dari dua riwayat dalam mazhab Hanabilah dan merupakan
pendapat yang kuat dalam mazhab Syafi’iyyah.
Adapun
Hanafiyyah memandang seorang yang fasik tidaklah hilang haknya sebagai wali,
kecuali bila kefasikannya tersebut sampai pada batasan ia berani
terang-terangan berbuat dosa.
Demikian pula Malikiyyah berpandangan seorang yang
fasik tidak hilang haknya sebagai wali. Adapun ‘adalah hanyalah
syarat penyempurna bagi wali, sehingga bila ada dua wali yang sama derajatnya,
yang satu fasik sedangkan yang satu memiliki ‘adalah, seperti
seorang wanita yang tidak lagi memiliki ayah dan ia memiliki dua saudara
laki-laki, satunya fasik sedangkan yang satunya adil, tentunya yang
dikedepankan adalah yang memiliki ‘adalah.
v Mahar Dalam Pernikahan
Syarat – syarat mahar :
1.
Benda
yang suci, atau hasil dari pekerjaan yang bermanfaaat.
2.
Milik
suami.
3.
Ada
manfaatnya.
4.
Sanggup
menyerahkan; mahar tidak sah dengan benda yang sedang dirampas orang dan tidak
sanggup menyerahkannya.
5.
Dapat
diketahui sifat dan jumlahnya.
C.
Prinsip –
prinsip perkawinan[12]
Adapun prinsip –
prinsip perkawinan dalam islam antara lain :
1.
Memenuhi dan melaksanakan perintah agama
2.
Kerelaan dan persetujuan
3.
Perkawinan untuk selamanya
4.
Suami sebagai penanggung jawab umum dalam rumah tangga
Hikmah
perkawinan
v
Dengan pernikahan maka banyaklah keturunan.
v
Keadaan hidup manusia tidak akan tentram kecuali
jika keadaan rumah tangganya teratur.
v
Laki – laki dan perempuan adalah dua sekutu yang
berfungsi memakmurkan dunia masing – masing dengan cirri khasnya berbuat dengan
berbagai macam pekerjaan.
v
Sesuai dengan tabiatnya , manusia itu cenderung
mengasihi orang yang dikasihi
v
Manusia diciptakan dengan memiliki rasa gairah
(kecemburuan ) untuk menjaga kehormatan dan kemuliaannya.
v
Perkawinan akan memelihara keturunan serta
menjaganya.
v
Berbuat baik yang lebih banyak lebih baik dari
pada berbuat baik sedikit.
v
Manusia itu jika telah mati maka terputuslah
seluruh amal perbuatannya yang mendatangkan rahmat dan pahala kepadanya, namun apabila
masih meninggalkan anak, dan istri mereka akan mendoakannya dengan kebaikan
hingga amalnya tidak terputus dan pahalanya pun tidak di tolak
.
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Dari uraian yang telah disajikan, maka pada bab terakhir ini
penulis mencoba menguraikan beberapa kesimpulan – kesimpulan yang penulis ambil
selama pembuatan makalah ini. Bab ini juga merupakan bab terakhir dari tugas
ini.
1.
Pernikahan
merupakan suatu ikatan lahir antara dua orang, laki – laki dan perempuan, untuk
hidup bersama dalam suatu rumah tangga dan keturunan yang dilangsungkan menurut
ketentuan – ketentuan syari’at agama Islam.
2.
Bagi
mereka yang memang sudah mampu untuk menikah dan sudah memilki calon pasangan
yang sholeh atau sholehah insya allah, maka jangan menunda pernikahan tersebut.
2. Saran
Apabila
terdapat kesalahan dalam penyusunan makalah ini baik sengaja maupun tidak,
penulis meminta maaf. Karena itu,
kritik dan saran sangat diperlukan untuk memperbaiki makalah ini. Akhir kata
penulis mengucapkan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Abu al
majdi,ahmad.2007.Bidayatul mujtahid.Jakarta:pustaka azzam
Ghozali,abdul
rahman.2008.fiqih munakahat.Jakarta:kencana
[1]
ghozali,abdul rahman.fiqih munakahat.(Jakarta:kencana,2008)h.7
[2]
QS.an-nisa 3
[4] ghozali,abdul rahman.fiqih
munakahat.(Jakarta:kencana,2008)h.18
[5]
ghozali,abdul rahman.fiqih munakahat.(Jakarta:kencana,2008)h.19
[6] . ghozali,abdul rahman.fiqih
munakahat.(Jakarta:kencana,2008)h.20
[7]QS.al – baqarah 195
[8]
ghozali,abdul rahman.fiqih munakahat.(Jakarta:kencana,2008)h.21
[9] ghozali,abdul rahman.fiqih
munakahat.(Jakarta:kencana,2008)h.21
[10] ghozali,abdul
rahman.fiqih munakahat.(Jakarta:kencana,2008)h.45
[11] Abu al majdi,ahmad.Bidayatul mujtahid.(Jakarta:pustaka
azzam,2007)h.14,31,33
[12] ghozali,abdul rahman.fiqih
munakahat.(Jakarta:kencana,2008)h.32
Tidak ada komentar:
Posting Komentar