Translate

Jumat, 13 Maret 2015

Tata kelola air (di lahan gambut, lahan rawa lebak) tugas hidrologi



BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Pengertian Tata Kelola Air
Tata kelola Air (Water Governance) dibentuk oleh sistem politik, sosial,ekonomi dan administratif yang berada di suatu tempat; dan yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi penggunaan, pengembangan dan pengelolaan sumber daya air dan pengiriman layanan distribusi penyaluran air pada berbagai tingkat masyarakat. Yang penting lagi, sektor pengelolaan air adalah terkait dari bagian luas kehidupan sosial, perkembangan politik dan ekonomi dan dengan demikian juga dipengaruhi oleh keputusan-keputusan di luar sektor air.
Tata kelola air membahas antara lain:
·           Prinsip-prinsip seperti keadilan dan efisiensi dalam  sumber daya air dan alokasi pelayanan dan distribusinya, administrasi air berbasis batas hidrologis sebuah Daerah Aliran Sungai, perlunya pendekatan pengelolaan air terpadu dan kebutuhan untuk menyeimbangkan penggunaan air diantara kegiatan sosio-ekonomi dan ekosistemnya.
·            Perumusan, pembentukan dan pelaksanaan kebijakan terkait pengelolaan air, legislasi dan institusinya.
·            Klarifikasi peran pemerintah, masyarakat sipil dan sektor swasta dan tanggung jawab mereka terkait  kepemilikan, manajemen dan administrasi sumber daya air dan pelayanan jasa, diantaranya misalnya:
a)      Dialog antar-sektoral dan koordinasi
b)      Partisipasi pemangku kepentingan dan resolusi konflik
c)      Hak atas air dan perizinannya
d)     Peran perempuan dalam pengelolaan air
e)      Kuantitas air dan standar kualitas
f)       Hambatan-hambatan yg diakibatkan karena adanya birokrasi dan korupsi
g)      Pengaturan harga dan subsidi
h)      Insentif dari sektor pajak dan kredit.
BAB II
PENGELOLAAN AIR PADA BERBAGAI TIPOLOGI LAHAN

2.1.   Pengelolaan Air Untuk Tipologi Lahan Gambut Untuk Mendukung
 Budidaya Pertanian
            Pengelolaan lahan gambut harus dilakukan secara terencana dan penuh kehati-hatian agar mutu dan kelestarian sumber daya lahan dan lingkungannya dapat dipertahankan secara berkesinambungan. Kegiatan pengelolaan lahan rawa gambut untuk pertanian harus diprioritaskan pada lahan gambut yang telah mengalami kerusakan tetapi memiliki potensi pemanfaatan yang tinggi dengan batas kedalaman tidak lebih dari 1 meter. Kegiatan pertanian dengan membuka lahan baru, apalagi yang masih berhutan harus dihindari atau dilarang.
2.1.1.      Sumber Air di Lahan Gambut
                Sebagai salah satu jenis rawa, keberadaan air di lahan gambut sangat dipengaruhi oleh adanya hujan dan pasang surut atau luapan air sungai. Tingkah laku dari keduanya, akan berpengaruh terhadap tinggi dan lama genangan air di lahan gambut dan pada akhirnya akan berpengaruh terhadap tingkat kesuburan lahan serta pola budidaya tanaman yang akan diterapkan di atasnya.
Lahan gambut yang sering menerima luapan air sungai, relatif subur dibandingkan lahan gambut ang semata-mata hanya menerima limpasan atau curahan air hujan. Sifat luapan atau pasang surut air sungai yang jangkauannya dapat mencapai lahan gambut dapat disiasati untuk mengatasi berbagai kendala pertanian di lahan gambut, mis untuk mencunci zat-zat beracun atau asam kuat yang berasal dari teroksdasinya piurit dan mengatur keberadaan air sehingga tanaman dapat tumbuh dengan baik.
2.1.2.      Teknologi Pengelolaan Air Di Lahan Gambut
            Pengelolaan air di lahan gambut bertujuan untuk mengatur pemanfaatan sumber daya secara optimal sehingga di dapatkan hasil/produktivitas lahan yang maksimal, serta sekaligus mempertahankan kelestarian sumber daya lahan tersebut. Salah satu teknik pengelolaan air di lahan gambut dapat dilakukan dengan membuat parit/ saluran, dengan tujuan:
·         Mengendalikan keberadaan air tanah di lahan gambut, sesuai dengan kebutuhan tanaman yang akan di budidayakan. Artinya gambut tidak menjadi kering di musim kemarau, tapi tidak juga tergenang di musim hujan. Hal demikian dapat di capai dengan membuat pintu air (flapgeat) yang daapt mengatur tinggi muka air tanah gambut sekaligus menahan air yang keluar dari lahar.
·         Mencuci asam-asam organik dan an-organk serta senyawa lainnya yang bersifat racun terhadap tanaman dan memasukkan (suplai) air segar untuk memberikan oksigen.
·         Memanfaatkan keberadaan air didalam saluran sebagai media  budidaya ikan, baik budidaya aktif( dimana benih ikan di tebarkan di dalam saluran maupun budidaya pasif (dimana parit/saluran digunakan sebagai perangkap ikan ketika sungai di sekitarnya meluap). Selain itu keberadaan air di dalam parit akan berfungsi sebagai sekat bakar yang dapat mencegah terjadnya kebakaran di lahan gambut.
·         Sebagai sarana transportasi hasil panen.

a)      Sistem parit/handil dicirikan oleh:
·         Lahan usaha tani biasanya berjarak 0,5-4 km dari tepi sungai kearah pedalaman, atau sampai ketebalan gambut maksimum 1 meter.
·         Di bagian tepi sungai biasanya tidak dibuatkan pematang, karna sudah ada tanggul sungai yang terbentuk secara alami shingga bila sungai pasang atau banjir, luapan air akan ertahan dan genangan pada lahan usaha yang ditimbulkan terbatas.
·         Parit dibuat biasanya berfungsi ganda, pertama sebagai saluran drainase (pembuangan) apabila air surut dan kedua sebagai saluran irigasi mengairi apabila air pasang. Aliran air dalam parit adalah dua arah atau bolak balik.
·         Untuk mempertahankan keberadaan air dilahan atau petakan.
·         Untuk mencegah agar parit tidak tersumbat oleh endapan lumpur, maka perlu dilakukan pengangkatan atau pembuangan lumpur secara rutin setiap bulan sekali.
·         Lebar parit/handil berukuran 5 meter dan semakin menyempit kearah hilu parit. Pada kanan dan kiri parit dibuat tanggul untuk ditanami buah-buah yang berfungsi sebagai penguapan agar tidak longsor.
·         Pada setiap jarak 500 meter dibuat parit cacing yang berfungi untuk memasukkan dan mengeluarkan air pada petakan pertanaman. Parit ini berukuran lebar dan dalam masing-masing 1 meter
·         Untuk meningkatkan mutu air didalam parit dapat dilakukan dengan menanami tumbuhan air yang terbenam didalamnya. Jika mutu air didalam parit membaik, maka kedalamnya dapat ditebarkan ikan. Tapi keberadaan tumbuhan air yang terlalu banyak dapat memeprcepat pendangkalan.
b)       Sistem Saluran Model Garpu Di Lahan Pasang Surut
Pengaturan tata air dengan sistem garpu telah dikembangkan oleh UGM pada lahan pasang surut, yaitu lahan-lahan yang terletak didaratan pantai atau dataran dekat sungai: baik terpengaruh secara lansung maupun tidak langsung oleh pasang surut. Untuk mengatur air pasang surut, maka dibuat pintu-pintu air yang dikenal dengan sebutan flatgeat yaitu pintu otomatis yang ketika pasang, air akan mendorong pintu sehingga air akan masuk kedalam air-air petakan lahan, tetapi suatu surut, air akan bertahan pada parit-parit petakan lahan. Struntur tinggi atau operasional pintu-pintu air disesusikan dengan pengguanaan lahanya, apakah untuk sawah, surjan atau lahan kering
Kelemahan sistem garpu
·      Biaya pembuatan tutup garpu terlalu mahal, karna dirancang untuk arel pertanian cukup luas dan mengguanakan alat-alat berat.
·      Lumpur yang mengendap didalam ruas-ruas saluran harus sering diangkat atau dipindahkan kalau tidak, maka akan terjadi pendangkalan didalam parit dan ini akan mempersulit proses penggantian air segar. Jika pada saluran terdapat pirit yang telah teroksidasi dan tidak tercuci keluar, maka senyawa asam kuat yang terbentuk akan membahayakan tanaman diatasnya.
            Untuk mengatasi kelemahan ini, beberapa pakar menyarankan adanya pembuatan saluran yang terpisah antara saluran-saluran irigasi (pemasukan air/inlet) dan drainase (pengeluaran air/outlet), atau dikenal dengan istilah sistem aliran satu arah, seperti yang akan diuraikan berikut. Dengan pemisahan ini diharapkan sistem perganitian air akan berlangsung lebih lancar dan penummpuka bahan beracun didalam saluran dapat dicegah.
c)        Sistem Aliran Satu Arah

            Pada sistem ini (gambar 3) setidaknya memerlukan 2 buah saluran tersier dimana tersier yang satu berfungsi sebagai saluran irigasi (inlet) dan yang lainya sebagai saluran pembuangan air/drainase (outlet). Kedua saluran tersier ini harus dilengakapi dengan saluran pintu otomatis (flatgate) yang dapat membuka dan menutup dengn tenaga arus air. Saluran irigasi akan membuka ketika air pasang, tapi saluran drainase akan tetutup. Kondid demikian diciptakan meetakkan posisi pintu yang berlawan arah (lihat gambar 4.). tinggi rendahnya muka air didalam saluran diatur dengan mengatur pembukaan pintu outlet (drainase). Keuntungan sistem aliran satu arah adalah terjadi pergantian air segar didalam saluran secara lebih lancar, potensi endapan lumpur didalam saluran kuarter lebih kecil karena tercuci lebih mudah serta penumpukan senyawa beracun dan air asam akan dapat dihindari.
            Hasil penelitian reklamasi lahan pasang surut pada tanah sulfat masam  dilokasi Tatas, Kalimantan Tengah, (Subagyono, 1994) dengan sistem aliran satu arah, diperoleh rata-rata produksi padi sekitar 3,35 ton/ha, sementara pada lahan yang dibiarkan tergenang menghasilkan 2,61 ton/ha sedangkan dilokasi Tabunganen di Kalimantan Selatan dengan sistem aliran satu arah, (AARD and LAWWO, 1990 dalam Subagyono, 1994) produksi padi varietas musi mencapai 3,8 ton/ha, padahal sebelum diterapkan sistem aliran satu arah rata-rata haisl padi petani adalah 0,5 – 1,5 ton/ha (varietas lokas) dan 2-2,5 ton/ha varietas unggul.
Gambar 5. Pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian.
2.2.       Pengelolaan Air Untuk Tipologi Lahan Salin

1.                  Penyebaran
Tanah salin dapat ditemukan di dua daerah yang berbeda, yaitu daerah pantai yakni salinitas yang disebabkan oleh genangan atau intrusi air laut dan daerah arid dan semi arid yakni salinitas yang disebabkan oleh evaporasi air tanah atau air permukaan.
a.    Tanah Salin Daerah Pantai
Tanah salin daerah pantai dijumpai di daerah pasang surut yang berbatasan dengan garis pantai, Karakterisasi dan klasifikasi sulit dilakukan, karena sifatnya yang berubah-ubah akibat mobilitas yang tinggi dari garam-garam yang mudah larut. Hujan memindahkan garam-garam tersebut dengan mudah, baik secara vertikal maupun lateral atau mengencerkan konsentrasinya menjadi tidak beracun. Garam-garam dapat terkumpul di tempat-tempat rendah(cekungan) bersama-sama air rembesan atau aliran permukaan, atau di tempat yang lebih tinggi akibat evaporasi.
b.    Tanah Salin di Daerah Arid dan Semiarid
Tanah jenis ini terbentuk akibat evaporasi yang selalu lebih tinggi daripada presipitasi. Air tanahnya sendiri mungkin tidak salin, tetapi gerakan air kapiler ke atas dan penguapan yang terus-menerus menyebabkan garam terakumulasi di lapisan tanah atas. Banyak ditemukan di daerah – daerah depresi (cekungan) di pedalaman yang berupa dataran lakustrin aluvial atau teras sungai.
c.    Tanah Salin pada Tanah Sulfat Masam Muda
Tingginya DHL pada tanah ini disebabkan oleh oksidasi pirit yang menghasilkan H2SO4. Nilai pH tanah yang sangat rendah dapat menghancurkan liat sehingga membebaskan Al dan kation-kation lain. Larutan tanahnya didominasi oleh Al2(SO4)3 dan kation lain. Dalam keadaan ekstrim di musim kering, H2SO4 bebas dapat ditemukan, dalam musim banjir FeSO4 dapat menjadi dominan.

2.    Klasifikasi Tanah Salin
Horizon-horizon penciri yang berkaitan dengan salinitas tinggi umumnya berkaitan dengan tanah-tanah salin di daerah arid dan semiarid misalnya horizon gipsik (akumulasi gipsum), horizon kalsik (akumulasi Ca atau Ca/Mg karbonat) , horizon salik (akumulasi garam-garam lebih mudah larut daripada gipsum) dan horizon natrik (ESP atau SAR tinggi). Salinitas tanah padi sawah (pasang surut) biasanya terlalu rendah atau terlalu beragam untuk digunakan sebagai ktiteria penciri dalam taksonomi tanah. Tanah-tanah pantai yang salin umumnya tidak termasuk Halaquept, karena kadar garamnya tidak menurun.

3.    Salinitas Tanah
Salinitas merupakan tingkat keasinan atau kadar garam terlarut dalam air. Salinitas juga dapat mengacu pada kandungan garam dalam tanah. Kandungan garam pada sebagian besar danau, sungai, dan aluran air alami sangat kecil sehingga air di tempat ini dikategorikan sebagai air tawar. Kandungan garam sebenarnya pada air ini, secara defenisi, kurang dari 0,05%. Jika lebih dari itu, air dikategorikan sebagai air payau atau menjadi saline bila konsentrasinya 3 sampai 5%.
Air laut mengandung 3,5% garam-garaman, gas-gas terlarut, bahan-bahan organik dan partikel-partikel tak terlarut. Keberadaan garam-garaman mempengaruhi sifat fisis air laut (densitas, kompresibilitas, titik beku, dan temperature dimana densitas menjadi maksimum) beberapa tingkat, tetapi tidak menentukannya. Beberapa sifat (viskositas, daya serap cahaya) tidak terpengaruh secara signifikan oleh salinitas. Dua sifat yang sangat ditentukan oleh jumlah garam di laut (salinitas) adalah daya hantar listrik dan tekanan osmosis (http://www.o-fish.com/air/salinitas.phpl, 2008).
Kelarutan garam yang tinggi dapat menghambat penyerapan air dan hara oleh tana tekanan osmotik. Secara khusus, keragaman yang tinggi menimbulkan keracunan tanaman terutama oleh ion Na dan Cl. Lahan salin atau lahan pantai adalah lahan rawa yang terkena pengaruh penyusupan air laut atau bersifat payau, yang dapat termasuk lahan potensial, lahan sulfat masam, atau lahan gambut. Penyusupan air laut ini paling tidak selama 3 bulan dalam setahun dengan kadar natrium dalam larutan tanah 8-15%. Berdasarkan tingkat salinitasnya, lahan salin dapat dibagi menjadi tiga tipologi, yaitu salin ringan, sedang, dan sangat salin. Kendala produksi pada jenis lahan ini sedang sampai sangat berat terutama dalam hal salinitas (http://awangmaharijaya.wordpress.com/, 2008).
Salinitas tanah menunjukkan besarnya kandungan garam mudah larut dalam tanah, sedang sodisitas menunjukkan tingginya kadar garam Na dalam tanah. Keracunan tanaman dapat terjadi bila kandungan garam mudah larut terlalu tinggi. Tanah salin adalah tanah yang mempunyai sifat – sifat berikut : (a). Daya hantar listrik tanah jenuh air (DHL) > 4 dS/m, (b). Persen Na dapat ditukar (ESP) < 15 dan (c). pH < 8,5. Ion – ion yang dominan pada tanah salin ialah : Na+ , Ca2+ , Mg2+ , Cl- , SO42- . NaCl merupakan penyebab salinitas utama. Pada tanah sulfat masam muda mengandung Al2 (SO4 )3 dan FeSO4 yang tinggi tetapi juga memenuhi syarat sebagai tanah salin.

4.    Pengaruh Salinitas Terhadap Tanah dan Tanaman
Kandungan NaCl yang tinggi pada tanah salin menyebabkan rusaknya struktur tanah, sehingga aerasi dan permeabilitas tanah tersebut menjadi sangat rendah. Banyaknya ion Na di dalam tanah menyebabkan berkurangnya ion-ion Ca, Mg, dan K yang dapat ditukar, yang berarti menurunnya ketersediaan unsur tersebut bagi tanaman. Pengaruh salinitas terhadap tanaman mencakup tiga hal yaitu tekanan osmosis, keseimbangan hara dan pengaruh racun. Bertambahnya konsentrasi garam di dalam suatu larutan tanah, meningkatkan potensial osmotik larutan tanah tersebut. Oleh sebab itu salinitas dapat menyebabkan tanaman sulit menyerap air hingga terjadi kekeringan fisiologis.
Spesies tanaman yang hanya mentoleransi konsentrasi garam rendah termasuk dalam kelompok tanaman glikofita, dan spesies-spesies tanaman yang mentoleransi konsentrasi garam tinggi termasuk kelompok tanaman halofita. Pengenalan pengaruh tingkat salinitas merupakan bahan yang sangat berguna sehubungan dengan berbagai akibat kerusakan atau gangguan yang ditimbulkannya terhadap pertumbuhan tanaman. Melalui pengenalan gejala yang timbul pada tanaman akibat tingkat salinitas yang cukup tinggi, perbaikan struktur tanah akan dapat diupayakan seperlunya, ataupun pemilihan jenis tanaman yang cocok untuk lokasi pertanian yang bermasalah.
Penggolokan garam yang mudah larut dalam tanah secara parah menghambat pertumbuhan tanaman. Penggolokan garam tersebut akan mengibas plasmolisis, yaitu suatu proses bergerak keluarnya H2O dari tanaman ke larutan tanah. Kehadiran ion Na dalam jumlah yang tinggi dapat mempertahankan partikel tanah tetap tersuspensi. Dengan pengeringan, tanah membentuk lempeng keras, dan terjadi pembentukan kerak di permukaan. Yang tersebut terakhir ini menurunkan porositas tanah dan aerasi terhambat secara parah. Nilai pH yang tinggi pada banyak diantara tanah-tanah tersebut juga menurunkan ketersediaan sejumlah hara.
Garam-garam yang dapat dipertukarkan akan mempengaruhi sifat-sifat tanah jika terdapat dalam keadaan yang berlebihan dalam tanah. Kekurangan unsur Na+ dan Cl- dapat menekan pertumbuhan dan mengurangi produksi. Peningkatan konsentrasi garam terlarut di dalam tanah akan meningkatkan tekanan osmotik sehingga menghambat penyerapan air dan unsur-unsur hara yang berlangsung melalui proses osmosis. Jumlah air yang masuk ke dalam akar akan berkurang sehingga mengakibatkan menipisnya jumlah persediaan air dalam tanaman.
Salinitas menekan proses pertumbuhan tanaman dengan efek yang menghambat pembesaran dan pembelahan sel, produksi protein serta penambahan biomassa tanaman. Tanaman yang mengalami stress garam umumnya tidak menunjukkan respon dalam bentuk kerusakan langsung tetapi pertumbuhan yang tertekan dan perubahan secara perlahan. Gejala pertumbuhan tanaman pada tanah dengan tingkat salinitas yang cukup tinggi adalah pertumbuhan yang tidak normal seperti daun mengering di bagian ujung dan gejala khlorosis. Gejala ini timbul karena konsentrasi garam terlarut yang tinggi menyebabkan menurunnya potensial larutan tanah sehingga tanaman kekurangan air. Sifat fisik tanah juga terpengaruh antara lain bentuk struktur, daya pegang air dan permeabilitas tanah. Semakin tinggi konsentrasi NaCl pada tanah, semakin tinggi tekanan osmotik dan daya hantar listrik tanah.

5.    Daya Hantar Listrik Tanah
Tanaman padi termasuk tanaman yang peka terhadap salinitas tanah (yang dinyatakan dengan daya hantar listrik atau disingkat DHL). Nilai DHL sebesar 2 Ds/m dianggap optimal, tetapi jika mencapai 4-6 dS/m tergolong marginal. Jika nilai DHL > 6 dS/m, maka pertumbuhan tanaman padi terhambat. Penurunan hasil bisa mencapai 50 % jika nilai DHL sekitar 7,2 dS/m, atau jika nilai exchangeable sodium percentage atau ESP sekitar 20 %.
Air murni merupakan penghantar listrik yang buruk, tapi daya hantar listriknya mengalami kenaikan sebesar banyaknya garam yang terlarut dalam air tanah. Demikianlah, daya hantar listrik larutan tanah memberikan kepada kita suatu pengukuran secara tak langsung terhadap kadar garam. Daya hantar listrik diukur melalui baik metode langsung ataupun metode laboratorium. Yang diukur dengan satuan mmhos/cm.
Daya hantar listrik mula-mula meningkat dengan penggenangan, kemudian menurun ke nilai stabil yang berbeda untuk setiap jenis tanah. Naiknya nilai DHL karena adanya mobilisasi Fe2+ dan Mn2+, pembentukan NH4+, HCO3-, dan RCOO- penggantian kation-kation dalam koloid oleh Fe2+, Mn2+, dan NH4+. Turunnya nilai DHL karena pengendapan Fe3+ sebagai Fe3(OH)8 dan FeS, pengendapan Mn sebagai MnCO3, kehilangan CO2, dan konversi RCOO- menjadi CH4. Pada tanah tergenang yang normal, nilai DHL tertinggi antara 2-4 dS/m, tetapi pada tanah pasir yang kaya bahan organik dan tanah sulfat masam dapat mencapai >4 dS/m yang merupakan ambang bahaya bagi padi. Nilai DHL 2 dS/m baik untuk tanaman padi. Kation yang digantikan oleh Fe2+, Mn2+, dan NH4 dalam keadaan reduksi dapat hilang bersama air perkolasi. Pada keadaan kering oksidasi Fe2+ dan NH4 dapat mengasamkan tanah.
Metode ekstrak pasta jenuh adalah metode yang paling sering digunakan dalam uji laboratorium. Contoh tanah yang telah dijenuhkan oleh air distilasi dan dicampurkan menjadi tanah dengan konsistensi pasta. Setelah didiamkan selama satu malam untuk melarutkan garam, daya hantar listrik air tanah yang diekstrakkan dari pasta tadi diukur. Metode di lapangan mencakup pengukuran daya hantar listrik secara langsung di lapangan. Metode ini melibatkan penetrasi empat sensor berupa elektroda ke dalam tanah di gerakkan oleh kendaraan seperti traktor pertanian.
Melalui defenisi, tanah salin memiliki daya hantar listrik yang lebih dari 4 mmhos/cm (pada suhu 250 C). Dalam air, 1 mmhos/cm daya hantar listrik mendekati 640 ppm ( 1700 lb garam per are ) pertumbuhan buah-buahan terbaik adalah ketika DHL tanah kurang dari 1,5 mmhos/cm dalam zona akar (pada kedalaman 3 sampai 4 kaki). Pertumbuhan dan panen buah-buahan berkurang jika daya hantar listrik mengalami kenaikan diatas 2,5 mmhos/cm.

6.     Reklamasi Tanah Salin Untuk Lahan Pertanian
Tanah-tanah pertanian yang produktivitasnya menurun karena bahan organik ikut terangkut dengan bagian tanah yang terkikis dan terhanyutkan, setahap demi setahap dapat dipulihkan kembali dengan kegiatan dan teraturnya pembenaman pupuk kandang ke dalam bagian atau lapisan tanah yang masih tersisa. Perlu juga dikombinasi dengan kegiatan penyengkedan tanah atau pengolahan tanah sejajar dengan garis kontur. Maksudnya agar pupuk kandang yang telah dibenamkan itu tidak mudah tercuci atau ikut hanyut sewaktu adanya aliran permukaan. Sebelum tanah salin dapat dimanfaatkan untuk lahan pertanian harus dan perlu dilakukan beberapa usaha untuk mengurangi kendala-kendala yang dapat menghambat pertumbuhan tanaman. Usaha-usaha tersebut antara lain:
a)    Mereklamasi tanah salin
b)   Menggunakan tanaman-tanaman yang toleran terhadap tanah
bergaram Reklamasi tanah salin dapat dilakukan dengan beberapa cara:
1)   Eradikasi yakni pencucian garam-garam terlarut di dalam tanah dengan cara irigasi dan drainase.
2)   Pertukaran kation yakni penambahan bahan-bahan seperti gips (CaSO4) atau batu kapur (CaCO3).
3)   Penambahan bahan organic.

Gambar.6. Penanaman tanaman bakau di area lahan salin
Gambar.7. pemanfaatan irigasi pertanian di daerah lahan salin setelah sebelumnya
di netlalisirkan oleh tanaman bakau.

2.3. Pengelolaan Air Untuk Tipologi Lahan Rawa Lebak
2.3.1.      Tipologi Lahan Lebak
Lahan rawa lebak adalah lahan yang pada periode tertentu (minimal satu bulan) tergenang air dan rejim airnya dipengaruhi oleh hujan, baik yang turun setempat maupun di daerah sekitarnya. Berdasarkan tinggi dan lama genangan airnya, lahan rawa lebak dikelompokkan menjadi lebak dangkal, lebak tengahan dan lebak dalam. Lahan lebak dangkal adalah lahan lebak yang tinggi genangan airnya kurang dari 50 cm selama kurang dari 3 bulan. Lahan lebak tengahan adalah lahan lebak yang tinggi genangan airnya 50- 100 cm selama 3-6 bulan. Lahan lebak dalam adalah lahan lebak yang tinggi genangan airnya lebih dari 100 cm selama lebih dari 6 bulan (Widyaya Adhi, et al., 2000).
Lahan lebak dangkal umumnya mempunyai kesuburan tanah yang lebih baik, karena adanya pengkayaan dari endapan lumpur yang terbawa luapan air sungai. Lahan lebak tengahan mempunyai genangan air yang lebih dalam dan lebih lama daripada lebak dangkal, sehingga waktu surutnya air juga lebih belakangan. Oleh karena itu, masa pertanaman padi pada wilayah ini lebih belakang daripada lebak dangkal. Lahan lebak dalam letaknya lebih dalam yang pada musim kemarau dengan iklim normal umumnya masih tergenang air dan ditumbuhi oleh beragam gulma terutama jenis Paspalidium, sehingga wilayah ini merupakan reservoir air dan sumber bibit ikan perairan bebas. Lahan ini umumnya jarang digunakan untuk usaha tanaman, kecuali pada areal yang periode tidak tergenang airnya lebih dari 2 bulan atau bila terjadi kemarau panjang.

2.3.2.      Jenis Tanah Dan Karakteristiknya
Jenis tanah yang umum dijumpai di lahan lebak adalah tanah mineral dan gambut. Tanah mineral bisa berasal dari endapan sungai atau bisa berasal dari endapan marin, sedangkan tanah gambut di lapangan bisa berupa lapisan gambut utuh atau lapisan gambut berselang seling dengan lapisan tanah mineral. Tanah mineral memiliki tekstur liat dengan tingkat kesuburan alami sedang - tinggi dan pH 4 - 5 serta drainase terhambat - sedang. Setiap tahun, lahan lebak umumnya mendapat endapan lumpur dari daerah di atasnya, sehingga walaupun kesuburan tanahnya umumnya tergolong sedang, tetapi keragamannya sangat tinggi antar wilayah atau antar lokasi. Pada umumnya nilai N total sedang-tinggi, P tersedia rendah-sedang, K-tersedia 10-20 ppm sedang, dan KTK sedang-tinggi. Lahan lebak dengan tanah mineral yang berasal dari endapan sungai cukup baik untuk usaha pertanian. Sedangkan lahan lebak dengan tanah mineral yang berasal dari endapan marin biasanya memiliki lapisan pirit (FeS2) yang berbahaya bagi tanaman karena bisa meracuni tanaman terutama bila letaknya dekat dengan permukaan tanah. Oleh karena itu, reklamasi dan pengelolaan lahan ini harus dilakukan secara cermat dan hati-hati agar tanaman bias tumbuh dan memberikan hasil yang baik (Alkasuma et al, 2003, Alihamsyah, 2005).
            Tabel 1. Karakteristik dominan tanah lahan lebak di berbagai wilayah di Indonesia
Wilayah Tekstur tanah            Jenis tanah                   pH tanah                     Drainase
Kalimantan Selatan     Liat Mineral, gambut                 4-5                Terhambat-sedang
Kalimantan Barat        Debu berliat Mineral, gambut   4-5                            Sedang
Sumatera Selatan        Liat Mineral                                5                  Terhambat-sedang
Sumatera Barat           Pasir berliat Gambut, mineral     5-5,2                        Sedang
Lampung                     Liat Mineral                                5                  Terhambat-sedang
Jambi Liat                   Mineral                                        5                  Terhambat-sedang

2.3.3.      Potensi Dan Permasalahan Lahan Lebak
Lahan lebak adalah lahan yang rejim airnya dipengaruhi oleh topografi dan hujan, baik yang turun setempat maupun di daerah sekitarnya dan mempunyai topograpi yang relatif rendah (cekung). Potensi luas lahan lebak berdasarkan studi dari Bank Dunia tahun 1998 adalah sekitar 13,316 juta ha, yang tersebar di Pulau Sumatera seluas 2,786 juta ha, Kalimantan seluas 3,580 juta ha dan Papua seluas 6,305 juta ha (Gambar 1). Berdasarkan data Gambar 1, terlihat bahwa dengan potensi lahan lebak yang sangat luas, maka apabila sekitar 10% saja dapat dikelola dengan baik dengan intensitas tanam meningkat dari 0 kali menjadi 1 kali, maka dapat menghasilkan produksi padi sekitar 2.663.200 ton atau 5.326.400 ton dari 1 kali menjadi 2 kali tanam dengan rata-rata produktivitas 2 ton/ha. Hasilnya akan terjadi lompatan produksi yang sangat signifikan, apabila produktivitasnya bisa direalisasikan mencapai 3 ton/ha atau bahkan 4 ton/ha sehingga produksi pangan nasional dapat ditingkatkan secara meyakinkan.
Usaha-usaha untuk mengembangkan dan mengelola lahan rawa lebak khususnya untuk sektor pertanian memang menjadi persoalan yang memerlukan penanganan yang serius dan hati-hati. Beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain, karena rawa lebak mempunyai kendala atau faktor penghambat diantaranya yang harus diselesaikan terlebih dahulu. Kendala tersebut antara lain:
1.        Umumnya mempunyai rejim air yang fluktuatif dan sulit diduga serta resiko kebanjiran (flooding) di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau. Dengan kondisi biofisik yang demikian, maka pengembangan lahan rawa lebak untuk usaha pertanian khususnya tanaman pangan, hortikultura, peternakan dan perikanan dalam skala luas memerlukan pengelolaan lahan dan air serta penerapan teknologi yang sesuai dengan kondisi wilayahnya (spesifik lokalita) agar diperoleh hasil yang optimal.
2.        Kondisi sosial ekonomi masyarakat serta kelembagaan dan prasarana pendukung yang umumnya belum memadai (kurang/belum berjalan) atau bahkan belum ada. Terutama menyangkut kejelasan kepemilikan lahan, keterbatasan tenaga (petani sambilan) dan modal kerja serta sarana produksi, prasarana dan sarana irigasi dan perhubungan serta pasca panen (post harvesting) dan pemasaran hasil pertanian.
3.        Dijumpai adanya kemampuan pemerintah daerah dan petani yang belum sepenuhnya memahami bagaimana karakteristik dari lahan rawa lebak dan juga teknologi yang tersedia dan cocok dalam pengelolaan lahan dan air untuk pertanian yang mempunyai kearifan lokal (local wisdom).
4.        Adanya penanganan yang tidak serius dalam pengelolaan lahan rawa lebak baik menyangkut dokumentasi, administrasi dan teknologi yang telah dan pernah dilakukan oleh masyarakat lokal maupun pendatang dalam suatu area tertentu, sehingga tidak adanya acuan yang dapat dipedomani dalam pengembangan lahan rawa lebak pada lokasi lain.
5.        Masih dijumpai penanganan pengelolaan rawa lebak secara sektoral tanpa melibatkan dari berbagai unsur sehingga tidak terintegrasi atau kurangnya dukungan dari sector-sektor atau pihak-pihak terkait lainnya.

2.3.4.      Pengelolaan Air Lahan Rawa Lebak
Lahan rawa lebak yang merupakan dataran banjir sungai dengan beda muka air antara musim hujan dan musim kemarau lebih dari 2 m disamping itu juga merupakan dataran rendah dengan ketinggian 3 – 5 m di atas permukaan laut. Daerah lebak ini adalah daerah entrapped/encloced inundation dimana dibagian lain merupakan daerah tinggi dengan ketinggian hingga 20 m, sehingga fisiografinya merupakan cekungan dengan batas daerah tinggi yang berlereng 4–10%, dengan kata lain tidak ada pengaruh nyata dari pasang surut air laut. Air sungai yang melimpahi dataran rawa lebak miskin sulfat, sehingga dataran rawa lebak tidak memperlihatkan endapan sulfida seperti pada daerah pasang surut. Lahan rawa lebak adalah merupakan sebagian kecil sekitar 5% areal dari ekosistem DAS, dimana terdapat pengendapan bahan yang diangkut air dari perbukitan. Tanah rawa lebak umumnya tergolong alluvial hidromorf dan gley humus rendah. Berdasarkan kedalaman dan lamanya genangan, maka lahan rawa lebak dibedakan manjadi 3 (tiga) tipe:
1.    Lebak Pematang/Dangkal:
Daerah yang terletak dibagian yang lebih tinggi dimana saat menjelang akhir musim hujan daerah ini sering kali airnya sudah surut dan telah dapat diusahakan, tetapi cepat sekali mengalami kekeringan. Biasanya tinggi genangan airnya kurang dari 50 cm selama kurang dari 3 bulan.
2.    Lebak Tengahan:
Daerah pada bagian cekungan yang umumnya pada pertengahan musim kemarau masih digenangi air tetapi mengering pada masa panen. Dengan tinggi genangan airnya antara 50-100 cm selama 3-6 bulan.
3.    Lebak Dalam:
Daerah pada bagian cekungan dalam dimana surutnya air lebih lambat sehingga pada masa panen masih terdapat genangan air di petakan sawah. Lebak ini mempunyai tinggi genangan airnya lebih dari 100 cm selama lebih dari 6 bulan. Lebak pematang dan lebak tengahan cocok untuk diusahakan pertanaman padi dan palawija, tetapi untuk rawa lebak dalam biasanya diusahakan untuk kolam ikan dan usahatani ikan dan peternakan itik baik petelur maupun pedaging ataupun ternak kerbau rawa jika memungkinkan. Untuk itu sebelum dilakukan pengembangan lebih lanjut, maka langkah-langkah yang harus perhatikan adalah sebagai berikut:
1)                  Identifikasi dan pengelompokan wilayah lebak berdasarkan tipologi lahan, biologi dan fisik lahan, sistem usahatani yang existing, kelembagaan serta sarana dan prasarana yang tersedia. Informasi-informasi ini sangat penting dikumpulkan yang menyangkut jenis dan kondisi tanah yang dipetakan dengan disertai area yang tergenang kapan, berapa lama, serta dalamnya genangan. Sistem usaha tani yang meliputi pemanfaatannya, pola usahatani (farming system) dan penerapan teknologinya, hasil dan pendapatan dari komoditas yang diusahakan, ketersediaan modal untuk berusaha tani, sarana produksi dan pemasaran hasil, keterlibatan petani/kelompok tani dalam koperasi dan masalah-masalah yang dihadapi sekaligus potensi dan prospek serta kendala pengembangan lahan rawa lebak. Informasi sarana dan prasarana juga dikumpulkan yang menyangkut tata letak dan fungsi saluran, keadaan saluran meliputi panjang dan jarak antar saluran serta dimensi penampang saluran, letak dan kondisi pintu air atau bangunan air lainnya, operasi dan pemeliharaan jaringan air, luas cakupan lahan dan penataannya, dan persepsi dan saran petani mengenai penyempurnaan tata airnya.
2)   Desain dan rancangan pengembangan, Dari hasil identifikasi dan pengelompokan wilayah lebak baik dari aspek biofisik dan hidrotopografinya, maka rancangan dan desain pengelolaan lahan rawa lebak dapat dibuat dengan prinsip kesesuaian lahan dengan memperhatikan kawasan permukiman, kawasan budidaya baik untuk tanaman pangan, hortikultura dan peternakan maupun perikanan. Selain itu juga harus menyisakan area atau kawasan konservasi, sehingga jelas dimana area yang selalu tergenang, tempat bangunan irigasi, arah dan sumber air irigasi, pintu-pintu air, saluran pemberi dan pembuang (drainase), area water retention, jalan usaha tani, rancangan pola tanam (padi – padi, padi – palawija dan padi – hortikultura). Tidak kalah pentingnya untuk memberikan contoh pengembangan atau pemanfaatan lahan rawa lebak yang optimal, maka model pengembangan harus diinstall di area yang mempunyai karakteristik berbeda-beda, sehingga model ini dapat diadopsi oleh para penyuluh maupun petani sekitar lokasi, karena mereka dapat melihat langsung cara pengelolaannya. Hal penting yang mesti diperhatikan juga adalah pengembangan suatu lahan rawa lebak tidak akan mematikan kebiasaan yang telah dilakukan oleh petani atau masyarakat yang mempunyai nilai positif (indegenous knowledge), karena tiap lokasi atau daerah mempunyai kearifan lokal yang berbeda-beda sehingga penanganan yang diaplikasikan juga memperhatikan spesifik lokasi. Sebaliknya hal-hal yang bernilai negatif yang ada dimasyarakat kita arahkan untuk menjadi nilai positif yang sangat bermanfaat bagi pengembangan lahan rawa lebak lebih lanjut.
3)   Penumbuhan kelembagaan, peningkatan pengetahuan dan partisipasi petugas dan petani. Penumbuhan kelembagaan penunjang yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat oleh dari dan untuk petani/kelompok tani sangat diperlukan tentunya dengan partisipasi aktif mereka. Kelembagaan tersebut dapat berupa kelembagaan petani, P3A, sarana produksi, pelayanan jasa alsintan, pasca panen dan pemasaran hasil serta keuangan atau permodalan. Peningkatan pengetahuan yang berupa pelatihan dan pembinaan secara intensif pada area model meliputi sekolah lapang dan temu lapang bagi petani/kelompok tani sangat diperlukan, demikian juga pelatihan bagi petugas baik dari semua tingkatan seperti TOT untuk petugas propinsi, pelatihan aspek teknis pengelolaan lahan lebak oleh petani untuk petugas kabupaten serta pelatihan bagaimana mendorong dan mengaktifkan kembali partisipasi petugas dan petani dalam pengelolaan lahan lebak.
4)                  Monitoring dan evaluasi
Kegiatan monitoring dan evaluasi merupakan hal paten yang mesti harus ada karena merupakan deliniasi tujuan maupun arahan pengembangan lahan lebak agar tidak melenceng dari yang diharapkan. Kegiatan yang dilakukan harus dilengkapi informasi sebelum (before) dan sesudah (after) proyek baik ruang (spatial) maupun waktu (temporal). Kegiatan ini akan dapat dievaluasi sehingga ke depan dapat dibuat scenario skenario pengembangan lanjutannya.
Pengelolaan air atau lengas tanah di lahan rawa lebak dapat dilakukan melalui :
1)                  Pembuatan saluran atau parit dan pengaturan air di dalam saluran,
2)                  Pembuatan saluran cacing atau kemalir di petakan lahan,
3)                  Pemberian air kepada tanaman pada musim kemarau, 
4)                  Pemberian mulsa di petakan lahan. Pemilihan teknologi pengelolaan air didasarkan kepada jenis tanaman, musim tanam, dan ketersediaan airnya. Pemberian air pada musim kemarau dapat dilakukan dengan pemompaan dari saluran ke petakan lahan atau dengan teknik penyiraman menggunakan gembor maupun teknik irigasi tetes.
Pengelolaan air yang baik dapat mendukung pengaturan pola tanam dan waktu tanam yang sesuai. Hal ini dengan sendirinya dapat meningkatkan indeks pertanaman (IP) tiap musim tanam sehingga produksi pertanian pertahun meningkat. Akhirnya dengan pengelolaan air yang baik maka pendapatan petani juga meningkat.
Gambar.6. Pemanfaatan Rawa Lebak Untuk Pertanian
Kebijakan Pengembangan Lahan Rawa Lebak
Paling tidak ada tiga aspek penting yang harus dilakukan perubahan mendasar berkaitan dengan revitalisasi lahan rawa lebak : (1) revitalisasi sumberdaya manusia (jumlah, jenis dan kualitas), (2) program dan (3) pendanaan.
1.    Revitalisasi Sumberdaya Manusia
Salah satu kekeliruan besar yang pernah dilakukan kita bersama dalam pengembangan lahan rawa lebak adalah: tidak seimbangnya antara ketersediaan tenaga kerja dengan program dan pendanaan yang tersedia. Pada tahun 1980 an pemerintah membuka secara besar besaran lahan rawa tanpa diimbangi dengan ketersediaan tenaga kerja yang memadai. Berkaitan dengan kondisi sumberdaya manusia (SDM) petani, maka tanpa peningkatan jumlah petani pengelola rawa yang signifikan, maka lahan rawa akan tetap seperti sekarang ini. Apalagi, sebagian besar lahan rawa umumnya merupakan daerah terpencil (remote area) yang aksebilitasnya minimal, sehingga posisi lahan rawa menjadi kurang menarik bagi siapapun, kecuali orang yang benar benar memiliki motivasi tinggi dan atau terpaksa. Secara berjenjang, maka kebutuhan SDM lahan rawa lebak, maka ada tiga komponen yang harus dipenuhi: (1) SDM pelaksana lapang (petani), SDM penyuluh dan SDM pengelola (pengambil kebijakan, perencana dan pengembang). Rendahnya minat petani untuk bekerja di lahan rawa lebak didasari fakta bahwa, meskipun produk pertanian yang dihasilkan sangat menjanjikan, karena biaya angkut mahal, maka nilai tambah produksi tidak bisa dinikmati petani. Kondisi ini menyebabkan minat masyarakat untuk mengembangkan lahan rawa lebak sangat terbatas. Jumlah petani/transmigran yang meningggalkan lahan rawa jumlahnya paling banyak dibandingkan transmigrasi untuk agroekosistem non rawa. Kondisi ini harus dipecahkan bersama apabila lahan rawa lebak akan diberdayakan potensinya. Logika praktisnya dalam pengembangan lahan rawa lebak adalah: bagaimana lahan rawa lebak memiliki daya tarik untuk ditingali oleh siapapun baik petani maupun non petani. Melalui pendekatan ini, maka pemerintah tidak hanya berbicara sektor pertanian saja, melainkan juga sudah melakukan pendekatan menyeluruh tentang pengembangan wilayah termasuk mengintegrasikan sektor industri, perdagangan dan jasa serta perhubungan yang seringkali justru menjadi kendala utamanya.
2.                  Revitalisasi Program
Secara praktis revitalisasi program pengembangan lahan rawa dapat dilakukan berdasarkan master plan program yang dikeluarkan oleh Bappenas Melalui master plan yang jelas, maka setiap sektor dapat mengambil posisi dan peran strategisnya untuk pengembangan lahan rawa, sehingga memunculkan sinergi dan bukan sebaliknya kontradiksi. Keputusan politis pengembangan rawa lebak ini harus didengungkan dan dikampanyekan terus menerus agar pamornya tidak terkalahkan dengan lahan sawah atau lahan kering. Berkaitan dengan revitalisasi program, maka dalam berbagai kesempatan telah ada kesepahaman bahwa tanpa ada koordinasi yang harmonis antar pemangku kepentingan, program ini tidak akan berjalan mulus sesuai yang diharapkan.
3.        Revitalisasi Pendanaan
Revitalisasi pendanaan telah dilakukan secara signifikan oleh departemen pertanian dengan dibentuknya Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air yang di dalamnya terdapat Direktorat Pengelolaan Air. Secara signifikan alokasi dana pengelolaan air sekitar 60% dari total Direktorat Jenderal PLA. Sedangkan khusus untuk tata air mikro (TAM) mencapai sekitar 20% dari dana tersebut, sehingga secara operasional, dukungan pendanaan pengelalaan lahan rawa sudah in line dengan semangat untuk pengembangan lahan rawa. Untuk mengefektifkan pelaksanaan program pengelolaan air, maka dipilih program padat karya sebagai terobosannya.




















Daftar Pustaka

Annoname. 2008.  http://www.o-fish.com/air/salinitas.phpl, 2008. Diakses 21
April 2014.

Annoname. 2008.  http://awangmaharijaya.wordpress.com/, 2008. Diakses 21
April 2014.

Ahmadi dan Irsal Las. Inovasi Teknologi Pengembangan Pertanian Lahan Rawa
Lebak. Balittra.

Gatot Irianto. Kebijakan dan Pengelolaan Air dalam Pengembangan Lahan Rawa
Lebak. Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air Departemen Pertanian.


Muslihat, L. 2004. Sistem Pengelolaan Tata Air Di Lahan Gambut Untuk
Mendukung Budidaya Pertanian. Http://www.indo-peat.net. Diakses tanggal 21 April 2014.

Waluyo dkk. 2008. Fluktuasi Genangan Air Lahan Rawa Lebak dan Manfaatnya
bagi Bidang Pertanian di Ogan Komering Ilir. Jakarta.

1 komentar: