BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Pengertian Tata Kelola Air
Tata kelola Air (Water Governance) dibentuk
oleh sistem politik, sosial,ekonomi dan administratif yang
berada di suatu tempat; dan yang secara langsung atau tidak
langsung mempengaruhi penggunaan, pengembangan dan pengelolaan
sumber daya air dan pengiriman layanan distribusi penyaluran
air pada berbagai tingkat masyarakat. Yang penting lagi, sektor pengelolaan
air adalah terkait dari bagian luas kehidupan
sosial, perkembangan politik dan ekonomi dan dengan
demikian juga dipengaruhi oleh keputusan-keputusan di
luar sektor air.
Tata kelola air membahas antara lain:
·
Prinsip-prinsip
seperti keadilan dan efisiensi dalam sumber daya air dan
alokasi pelayanan dan distribusinya, administrasi air berbasis
batas hidrologis sebuah Daerah Aliran Sungai, perlunya
pendekatan pengelolaan air terpadu dan kebutuhan untuk
menyeimbangkan penggunaan air diantara kegiatan sosio-ekonomi dan
ekosistemnya.
·
Perumusan, pembentukan
dan pelaksanaan kebijakan terkait pengelolaan air, legislasi
dan institusinya.
·
Klarifikasi peran
pemerintah, masyarakat sipil dan sektor swasta dan tanggung
jawab mereka terkait kepemilikan, manajemen dan
administrasi sumber daya air dan pelayanan jasa, diantaranya
misalnya:
a)
Dialog
antar-sektoral dan koordinasi
b)
Partisipasi
pemangku kepentingan dan resolusi konflik
c)
Hak atas
air dan perizinannya
d)
Peran perempuan
dalam pengelolaan air
e)
Kuantitas
air dan standar kualitas
f)
Hambatan-hambatan
yg diakibatkan karena adanya birokrasi dan korupsi
g)
Pengaturan
harga dan subsidi
h)
Insentif dari
sektor pajak dan kredit.
BAB II
PENGELOLAAN AIR PADA BERBAGAI
TIPOLOGI LAHAN
2.1. Pengelolaan Air Untuk Tipologi Lahan Gambut
Untuk Mendukung
Budidaya Pertanian
Pengelolaan lahan gambut harus
dilakukan secara terencana dan penuh kehati-hatian agar mutu dan kelestarian
sumber daya lahan dan lingkungannya dapat dipertahankan secara
berkesinambungan. Kegiatan pengelolaan lahan rawa gambut untuk pertanian harus
diprioritaskan pada lahan gambut yang telah mengalami kerusakan tetapi memiliki
potensi pemanfaatan yang tinggi dengan batas kedalaman tidak lebih dari 1
meter. Kegiatan pertanian dengan membuka lahan baru, apalagi yang masih
berhutan harus dihindari atau dilarang.
2.1.1.
Sumber
Air di Lahan Gambut
Sebagai salah satu
jenis rawa, keberadaan air di lahan gambut sangat dipengaruhi oleh adanya hujan
dan pasang surut atau luapan air sungai. Tingkah laku dari keduanya, akan
berpengaruh terhadap tinggi dan lama genangan air di lahan gambut dan pada
akhirnya akan berpengaruh terhadap tingkat kesuburan lahan serta pola budidaya
tanaman yang akan diterapkan di atasnya.
Lahan
gambut yang sering menerima luapan air sungai, relatif subur dibandingkan lahan
gambut ang semata-mata hanya menerima limpasan atau curahan air hujan. Sifat
luapan atau pasang surut air sungai yang jangkauannya dapat mencapai lahan
gambut dapat disiasati untuk mengatasi berbagai kendala pertanian di lahan
gambut, mis untuk mencunci zat-zat beracun atau asam kuat yang berasal dari
teroksdasinya piurit dan mengatur keberadaan air sehingga tanaman dapat tumbuh
dengan baik.
2.1.2.
Teknologi
Pengelolaan Air Di Lahan Gambut
Pengelolaan
air di lahan gambut bertujuan untuk mengatur pemanfaatan sumber daya secara
optimal sehingga di dapatkan hasil/produktivitas lahan yang maksimal, serta
sekaligus mempertahankan kelestarian sumber daya lahan tersebut. Salah satu
teknik pengelolaan air di lahan gambut dapat dilakukan dengan membuat parit/
saluran, dengan tujuan:
·
Mengendalikan keberadaan air tanah di
lahan gambut, sesuai dengan kebutuhan tanaman yang akan di budidayakan. Artinya
gambut tidak menjadi kering di musim kemarau, tapi tidak juga tergenang di
musim hujan. Hal demikian dapat di capai dengan membuat pintu air (flapgeat)
yang daapt mengatur tinggi muka air tanah gambut sekaligus menahan air yang
keluar dari lahar.
·
Mencuci asam-asam organik dan an-organk
serta senyawa lainnya yang bersifat racun terhadap tanaman dan memasukkan
(suplai) air segar untuk memberikan oksigen.
·
Memanfaatkan keberadaan air didalam
saluran sebagai media budidaya ikan,
baik budidaya aktif( dimana benih ikan di tebarkan di dalam saluran maupun
budidaya pasif (dimana parit/saluran digunakan sebagai perangkap ikan ketika
sungai di sekitarnya meluap). Selain itu keberadaan air di dalam parit akan
berfungsi sebagai sekat bakar yang dapat mencegah terjadnya kebakaran di lahan
gambut.
·
Sebagai sarana transportasi hasil panen.
a)
Sistem
parit/handil dicirikan oleh:
·
Lahan usaha tani biasanya berjarak 0,5-4
km dari tepi sungai kearah pedalaman, atau sampai ketebalan gambut maksimum 1
meter.
·
Di bagian tepi sungai biasanya tidak
dibuatkan pematang, karna sudah ada tanggul sungai yang terbentuk secara alami
shingga bila sungai pasang atau banjir, luapan air akan ertahan dan genangan
pada lahan usaha yang ditimbulkan terbatas.
·
Parit dibuat biasanya berfungsi ganda,
pertama sebagai saluran drainase (pembuangan) apabila air surut dan kedua
sebagai saluran irigasi mengairi apabila air pasang. Aliran air dalam parit
adalah dua arah atau bolak balik.
·
Untuk mempertahankan keberadaan air
dilahan atau petakan.
·
Untuk mencegah agar parit tidak
tersumbat oleh endapan lumpur, maka perlu dilakukan pengangkatan atau
pembuangan lumpur secara rutin setiap bulan sekali.
·
Lebar parit/handil berukuran 5 meter dan
semakin menyempit kearah hilu parit. Pada kanan dan kiri parit dibuat tanggul
untuk ditanami buah-buah yang berfungsi sebagai penguapan agar tidak longsor.
·
Pada setiap jarak 500 meter dibuat parit
cacing yang berfungi untuk memasukkan dan mengeluarkan air pada petakan
pertanaman. Parit ini berukuran lebar dan dalam masing-masing 1 meter
·
Untuk meningkatkan mutu air didalam
parit dapat dilakukan dengan menanami tumbuhan air yang terbenam didalamnya.
Jika mutu air didalam parit membaik, maka kedalamnya dapat ditebarkan ikan.
Tapi keberadaan tumbuhan air yang terlalu banyak dapat memeprcepat
pendangkalan.
b)
Sistem
Saluran Model Garpu Di Lahan Pasang Surut
Pengaturan
tata air dengan sistem garpu telah dikembangkan oleh UGM pada lahan pasang
surut, yaitu lahan-lahan yang terletak didaratan pantai atau dataran dekat
sungai: baik terpengaruh secara lansung maupun tidak langsung oleh pasang
surut. Untuk mengatur air pasang surut, maka dibuat pintu-pintu air yang
dikenal dengan sebutan flatgeat yaitu pintu otomatis yang ketika pasang, air
akan mendorong pintu sehingga air akan masuk kedalam air-air petakan lahan,
tetapi suatu surut, air akan bertahan pada parit-parit petakan lahan. Struntur
tinggi atau operasional pintu-pintu air disesusikan dengan pengguanaan lahanya,
apakah untuk sawah, surjan atau lahan kering
Kelemahan sistem garpu
·
Biaya pembuatan tutup garpu terlalu
mahal, karna dirancang untuk arel pertanian cukup luas dan mengguanakan
alat-alat berat.
·
Lumpur yang mengendap didalam ruas-ruas
saluran harus sering diangkat atau dipindahkan kalau tidak, maka akan terjadi
pendangkalan didalam parit dan ini akan mempersulit proses penggantian air
segar. Jika pada saluran terdapat pirit yang telah teroksidasi dan tidak tercuci
keluar, maka senyawa asam kuat yang terbentuk akan membahayakan tanaman
diatasnya.
Untuk
mengatasi kelemahan ini, beberapa pakar menyarankan adanya pembuatan saluran
yang terpisah antara saluran-saluran irigasi (pemasukan air/inlet) dan drainase
(pengeluaran air/outlet), atau dikenal dengan istilah sistem aliran satu arah,
seperti yang akan diuraikan berikut. Dengan pemisahan ini diharapkan sistem
perganitian air akan berlangsung lebih lancar dan penummpuka bahan beracun
didalam saluran dapat dicegah.
c)
Sistem
Aliran Satu Arah
Pada
sistem ini (gambar 3) setidaknya memerlukan 2 buah saluran tersier dimana
tersier yang satu berfungsi sebagai saluran irigasi (inlet) dan yang lainya
sebagai saluran pembuangan air/drainase (outlet). Kedua saluran tersier ini
harus dilengakapi dengan saluran pintu otomatis (flatgate) yang dapat membuka
dan menutup dengn tenaga arus air. Saluran irigasi akan membuka ketika air
pasang, tapi saluran drainase akan tetutup. Kondid demikian diciptakan
meetakkan posisi pintu yang berlawan arah (lihat gambar 4.). tinggi rendahnya
muka air didalam saluran diatur dengan mengatur pembukaan pintu outlet
(drainase). Keuntungan sistem aliran satu arah adalah terjadi pergantian air
segar didalam saluran secara lebih lancar, potensi endapan lumpur didalam
saluran kuarter lebih kecil karena tercuci lebih mudah serta penumpukan senyawa
beracun dan air asam akan dapat dihindari.
Hasil
penelitian reklamasi lahan pasang surut pada tanah sulfat masam dilokasi Tatas, Kalimantan Tengah, (Subagyono,
1994) dengan sistem aliran satu arah, diperoleh rata-rata produksi padi sekitar
3,35 ton/ha, sementara pada lahan yang dibiarkan tergenang menghasilkan 2,61
ton/ha sedangkan dilokasi Tabunganen di Kalimantan Selatan dengan sistem aliran
satu arah, (AARD and LAWWO, 1990 dalam Subagyono, 1994) produksi padi varietas
musi mencapai 3,8 ton/ha, padahal sebelum diterapkan sistem aliran satu arah
rata-rata haisl padi petani adalah 0,5 – 1,5 ton/ha (varietas lokas) dan 2-2,5
ton/ha varietas unggul.
Gambar 5.
Pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian.
2.2. Pengelolaan Air Untuk Tipologi
Lahan Salin
1.
Penyebaran
Tanah salin dapat ditemukan di dua daerah yang berbeda, yaitu daerah
pantai yakni salinitas yang disebabkan oleh genangan atau intrusi air laut dan daerah
arid dan semi arid yakni salinitas yang disebabkan oleh evaporasi air tanah
atau air permukaan.
a.
Tanah Salin Daerah Pantai
Tanah salin daerah pantai dijumpai di daerah pasang surut yang
berbatasan dengan garis pantai, Karakterisasi dan klasifikasi sulit dilakukan,
karena sifatnya yang berubah-ubah akibat mobilitas yang tinggi dari garam-garam
yang mudah larut. Hujan memindahkan garam-garam tersebut dengan mudah, baik
secara vertikal maupun lateral atau mengencerkan konsentrasinya menjadi tidak
beracun. Garam-garam dapat terkumpul di tempat-tempat rendah(cekungan)
bersama-sama air rembesan atau aliran permukaan, atau di tempat yang lebih
tinggi akibat evaporasi.
b.
Tanah Salin di Daerah Arid dan
Semiarid
Tanah jenis ini terbentuk akibat evaporasi yang selalu lebih tinggi
daripada presipitasi. Air tanahnya sendiri mungkin tidak salin, tetapi gerakan
air kapiler ke atas dan penguapan yang terus-menerus menyebabkan garam
terakumulasi di lapisan tanah atas. Banyak ditemukan di daerah – daerah depresi
(cekungan) di pedalaman yang berupa dataran lakustrin aluvial atau teras
sungai.
c.
Tanah Salin pada Tanah Sulfat
Masam Muda
Tingginya DHL pada tanah ini disebabkan oleh oksidasi pirit yang
menghasilkan H2SO4. Nilai pH tanah yang sangat rendah dapat menghancurkan liat
sehingga membebaskan Al dan kation-kation lain. Larutan tanahnya didominasi
oleh Al2(SO4)3 dan kation lain. Dalam keadaan ekstrim di musim kering, H2SO4
bebas dapat ditemukan, dalam musim banjir FeSO4 dapat menjadi dominan.
2.
Klasifikasi Tanah Salin
Horizon-horizon penciri yang berkaitan dengan salinitas tinggi
umumnya berkaitan dengan tanah-tanah salin di daerah arid dan semiarid misalnya
horizon gipsik (akumulasi gipsum), horizon kalsik (akumulasi Ca atau Ca/Mg
karbonat) , horizon salik (akumulasi garam-garam lebih mudah larut daripada
gipsum) dan horizon natrik (ESP atau SAR tinggi). Salinitas tanah padi sawah (pasang surut)
biasanya terlalu rendah atau terlalu beragam untuk digunakan sebagai ktiteria penciri
dalam taksonomi tanah. Tanah-tanah pantai yang salin umumnya tidak termasuk
Halaquept, karena kadar garamnya tidak menurun.
3.
Salinitas Tanah
Salinitas merupakan tingkat keasinan atau kadar garam terlarut dalam
air. Salinitas juga dapat mengacu pada kandungan garam dalam tanah. Kandungan
garam pada sebagian besar danau, sungai, dan aluran air alami sangat kecil
sehingga air di tempat ini dikategorikan sebagai air tawar. Kandungan garam
sebenarnya pada air ini, secara defenisi, kurang dari 0,05%. Jika lebih dari
itu, air dikategorikan sebagai air payau atau menjadi saline bila
konsentrasinya 3 sampai 5%.
Air laut mengandung 3,5% garam-garaman, gas-gas terlarut,
bahan-bahan organik dan partikel-partikel tak terlarut. Keberadaan
garam-garaman mempengaruhi sifat fisis air laut (densitas, kompresibilitas,
titik beku, dan temperature dimana densitas menjadi maksimum) beberapa tingkat,
tetapi tidak menentukannya. Beberapa sifat (viskositas, daya serap cahaya)
tidak terpengaruh secara signifikan oleh salinitas. Dua sifat yang sangat
ditentukan oleh jumlah garam di laut (salinitas) adalah daya hantar listrik dan
tekanan osmosis (http://www.o-fish.com/air/salinitas.phpl, 2008).
Kelarutan garam yang tinggi dapat menghambat penyerapan air dan hara
oleh tana tekanan osmotik. Secara khusus, keragaman yang tinggi menimbulkan
keracunan tanaman terutama oleh ion Na dan Cl. Lahan salin atau lahan pantai
adalah lahan rawa yang terkena pengaruh penyusupan air laut atau bersifat
payau, yang dapat termasuk lahan potensial, lahan sulfat masam, atau lahan
gambut. Penyusupan air laut ini paling tidak selama 3 bulan dalam setahun
dengan kadar natrium dalam larutan tanah 8-15%. Berdasarkan tingkat
salinitasnya, lahan salin dapat dibagi menjadi tiga tipologi, yaitu salin ringan,
sedang, dan sangat salin. Kendala produksi pada jenis lahan ini sedang sampai
sangat berat terutama dalam hal salinitas (http://awangmaharijaya.wordpress.com/,
2008).
Salinitas tanah menunjukkan besarnya kandungan garam mudah larut
dalam tanah, sedang sodisitas menunjukkan tingginya kadar garam Na dalam tanah.
Keracunan tanaman dapat terjadi bila kandungan garam mudah larut terlalu
tinggi. Tanah salin adalah tanah yang mempunyai sifat – sifat berikut : (a).
Daya hantar listrik tanah jenuh air (DHL) > 4 dS/m, (b). Persen Na dapat
ditukar (ESP) < 15 dan (c). pH < 8,5. Ion – ion yang dominan pada tanah
salin ialah : Na+ , Ca2+ , Mg2+ , Cl- , SO42- . NaCl merupakan penyebab
salinitas utama. Pada tanah sulfat masam muda mengandung Al2 (SO4 )3 dan FeSO4
yang tinggi tetapi juga memenuhi syarat sebagai tanah salin.
4.
Pengaruh Salinitas
Terhadap Tanah dan Tanaman
Kandungan NaCl yang tinggi pada tanah salin menyebabkan rusaknya
struktur tanah, sehingga aerasi dan permeabilitas tanah tersebut menjadi sangat
rendah. Banyaknya ion Na di dalam tanah menyebabkan berkurangnya ion-ion Ca,
Mg, dan K yang dapat ditukar, yang berarti menurunnya ketersediaan unsur
tersebut bagi tanaman. Pengaruh salinitas terhadap tanaman mencakup tiga hal
yaitu tekanan osmosis, keseimbangan hara dan pengaruh racun. Bertambahnya
konsentrasi garam di dalam suatu larutan tanah, meningkatkan potensial osmotik
larutan tanah tersebut. Oleh sebab itu salinitas dapat menyebabkan tanaman
sulit menyerap air hingga terjadi kekeringan fisiologis.
Spesies tanaman yang hanya mentoleransi konsentrasi garam rendah
termasuk dalam kelompok tanaman glikofita, dan spesies-spesies tanaman yang
mentoleransi konsentrasi garam tinggi termasuk kelompok tanaman halofita.
Pengenalan pengaruh tingkat salinitas merupakan bahan yang sangat berguna
sehubungan dengan berbagai akibat kerusakan atau gangguan yang ditimbulkannya
terhadap pertumbuhan tanaman. Melalui pengenalan gejala yang timbul pada
tanaman akibat tingkat salinitas yang cukup tinggi, perbaikan struktur tanah akan
dapat diupayakan seperlunya, ataupun pemilihan jenis tanaman yang cocok untuk
lokasi pertanian yang bermasalah.
Penggolokan garam yang mudah larut dalam tanah secara parah
menghambat pertumbuhan tanaman. Penggolokan garam tersebut akan mengibas
plasmolisis, yaitu suatu proses bergerak keluarnya H2O dari tanaman ke larutan
tanah. Kehadiran ion Na dalam jumlah yang tinggi dapat mempertahankan partikel
tanah tetap tersuspensi. Dengan pengeringan, tanah membentuk lempeng keras, dan
terjadi pembentukan kerak di permukaan. Yang tersebut terakhir ini menurunkan
porositas tanah dan aerasi terhambat secara parah. Nilai pH yang tinggi pada
banyak diantara tanah-tanah tersebut juga menurunkan ketersediaan sejumlah
hara.
Garam-garam yang dapat dipertukarkan akan mempengaruhi sifat-sifat
tanah jika terdapat dalam keadaan yang berlebihan dalam tanah. Kekurangan unsur
Na+ dan Cl- dapat menekan pertumbuhan dan mengurangi produksi. Peningkatan
konsentrasi garam terlarut di dalam tanah akan meningkatkan tekanan osmotik sehingga
menghambat penyerapan air dan unsur-unsur hara yang berlangsung melalui proses
osmosis. Jumlah air yang masuk ke dalam akar akan berkurang sehingga
mengakibatkan menipisnya jumlah persediaan air dalam tanaman.
Salinitas menekan proses pertumbuhan tanaman dengan efek yang
menghambat pembesaran dan pembelahan sel, produksi protein serta penambahan
biomassa tanaman. Tanaman yang mengalami stress garam umumnya tidak menunjukkan
respon dalam bentuk kerusakan langsung tetapi pertumbuhan yang tertekan dan perubahan
secara perlahan. Gejala pertumbuhan tanaman pada tanah dengan tingkat salinitas yang
cukup tinggi adalah pertumbuhan yang tidak normal seperti daun mengering di
bagian ujung dan gejala khlorosis. Gejala ini timbul karena konsentrasi garam
terlarut yang tinggi menyebabkan menurunnya potensial larutan tanah sehingga
tanaman kekurangan air. Sifat fisik tanah juga terpengaruh antara lain bentuk
struktur, daya pegang air dan permeabilitas tanah. Semakin tinggi konsentrasi
NaCl pada tanah, semakin tinggi tekanan osmotik dan daya hantar listrik tanah.
5.
Daya Hantar Listrik
Tanah
Tanaman padi termasuk tanaman yang peka terhadap salinitas tanah
(yang dinyatakan dengan daya hantar listrik atau disingkat DHL). Nilai DHL
sebesar 2 Ds/m dianggap optimal, tetapi jika mencapai 4-6 dS/m tergolong
marginal. Jika nilai DHL > 6 dS/m, maka pertumbuhan tanaman padi terhambat.
Penurunan hasil bisa mencapai 50 % jika nilai DHL sekitar 7,2 dS/m, atau jika
nilai exchangeable sodium percentage atau ESP sekitar 20 %.
Air murni merupakan penghantar listrik yang buruk, tapi daya hantar
listriknya mengalami kenaikan sebesar banyaknya garam yang terlarut dalam air
tanah. Demikianlah, daya hantar listrik larutan tanah memberikan kepada kita
suatu pengukuran secara tak langsung terhadap kadar garam. Daya hantar listrik
diukur melalui baik metode langsung ataupun metode laboratorium. Yang diukur
dengan satuan mmhos/cm.
Daya hantar listrik mula-mula meningkat dengan penggenangan,
kemudian menurun ke nilai stabil yang berbeda untuk setiap jenis tanah. Naiknya
nilai DHL karena adanya mobilisasi Fe2+ dan Mn2+, pembentukan NH4+, HCO3-, dan
RCOO- penggantian kation-kation dalam koloid oleh Fe2+, Mn2+, dan NH4+.
Turunnya nilai DHL karena pengendapan Fe3+ sebagai Fe3(OH)8 dan FeS, pengendapan
Mn sebagai MnCO3, kehilangan CO2, dan konversi RCOO- menjadi CH4. Pada tanah
tergenang yang normal, nilai DHL tertinggi antara 2-4 dS/m, tetapi pada tanah
pasir yang kaya bahan organik dan tanah sulfat masam dapat mencapai >4 dS/m
yang merupakan ambang bahaya bagi padi. Nilai DHL 2 dS/m baik untuk tanaman
padi. Kation yang digantikan oleh Fe2+, Mn2+, dan NH4 dalam keadaan reduksi
dapat hilang bersama air perkolasi. Pada keadaan kering oksidasi Fe2+ dan NH4
dapat mengasamkan tanah.
Metode ekstrak pasta jenuh adalah metode yang paling sering
digunakan dalam uji laboratorium. Contoh tanah yang telah dijenuhkan oleh air
distilasi dan dicampurkan menjadi tanah dengan konsistensi pasta. Setelah
didiamkan selama satu malam untuk melarutkan garam, daya hantar listrik air
tanah yang diekstrakkan dari pasta tadi diukur. Metode di lapangan mencakup
pengukuran daya hantar listrik secara langsung di lapangan. Metode ini
melibatkan penetrasi empat sensor berupa elektroda ke dalam tanah di gerakkan
oleh kendaraan seperti traktor pertanian.
Melalui defenisi, tanah salin memiliki daya hantar listrik yang
lebih dari 4 mmhos/cm (pada suhu 250 C). Dalam air, 1 mmhos/cm daya hantar
listrik mendekati 640 ppm ( 1700 lb garam per are ) pertumbuhan buah-buahan
terbaik adalah ketika DHL tanah kurang dari 1,5 mmhos/cm dalam zona akar (pada
kedalaman 3 sampai 4 kaki). Pertumbuhan dan panen buah-buahan berkurang jika
daya hantar listrik mengalami kenaikan diatas 2,5 mmhos/cm.
6.
Reklamasi Tanah Salin Untuk Lahan Pertanian
Tanah-tanah pertanian yang produktivitasnya menurun karena bahan
organik ikut terangkut dengan bagian tanah yang terkikis dan terhanyutkan,
setahap demi setahap dapat dipulihkan kembali dengan kegiatan dan teraturnya
pembenaman pupuk kandang ke dalam bagian atau lapisan tanah yang masih tersisa.
Perlu juga dikombinasi dengan kegiatan penyengkedan tanah atau pengolahan tanah
sejajar dengan garis kontur. Maksudnya agar pupuk kandang yang telah dibenamkan
itu tidak mudah tercuci atau ikut hanyut sewaktu adanya aliran permukaan. Sebelum tanah salin
dapat dimanfaatkan untuk lahan pertanian harus dan perlu dilakukan beberapa
usaha untuk mengurangi kendala-kendala yang dapat menghambat pertumbuhan
tanaman. Usaha-usaha tersebut antara lain:
a)
Mereklamasi tanah salin
b)
Menggunakan tanaman-tanaman
yang toleran terhadap tanah
bergaram
Reklamasi tanah salin dapat dilakukan dengan beberapa cara:
1)
Eradikasi yakni pencucian
garam-garam terlarut di dalam tanah dengan cara irigasi dan drainase.
2)
Pertukaran kation yakni
penambahan bahan-bahan seperti gips (CaSO4) atau batu kapur (CaCO3).
3)
Penambahan bahan organic.
Gambar.6.
Penanaman tanaman bakau di area lahan salin
Gambar.7.
pemanfaatan irigasi pertanian di daerah lahan salin setelah sebelumnya
di
netlalisirkan oleh tanaman bakau.
2.3. Pengelolaan Air Untuk Tipologi
Lahan Rawa Lebak
2.3.1. Tipologi
Lahan Lebak
Lahan rawa lebak adalah lahan yang pada periode
tertentu (minimal satu bulan) tergenang air dan rejim airnya dipengaruhi oleh
hujan, baik yang turun setempat maupun di daerah sekitarnya. Berdasarkan tinggi
dan lama genangan airnya, lahan rawa lebak dikelompokkan menjadi lebak dangkal,
lebak tengahan dan lebak dalam. Lahan lebak dangkal adalah
lahan lebak yang tinggi genangan airnya kurang dari 50 cm selama kurang dari 3
bulan. Lahan lebak tengahan adalah lahan lebak yang tinggi
genangan airnya 50- 100 cm selama 3-6 bulan. Lahan lebak dalam adalah
lahan lebak yang tinggi genangan airnya lebih dari 100 cm selama lebih dari 6
bulan (Widyaya Adhi, et al., 2000).
Lahan lebak dangkal umumnya mempunyai kesuburan
tanah yang lebih baik, karena adanya pengkayaan dari endapan lumpur yang
terbawa luapan air sungai. Lahan lebak tengahan mempunyai genangan air yang
lebih dalam dan lebih lama daripada lebak dangkal, sehingga waktu surutnya air
juga lebih belakangan. Oleh karena itu, masa pertanaman padi pada wilayah ini
lebih belakang daripada lebak dangkal. Lahan lebak dalam letaknya lebih dalam
yang pada musim kemarau dengan iklim normal umumnya masih tergenang air dan
ditumbuhi oleh beragam gulma terutama jenis Paspalidium, sehingga
wilayah ini merupakan reservoir air dan sumber bibit ikan perairan bebas. Lahan
ini umumnya jarang digunakan untuk usaha tanaman, kecuali pada areal yang
periode tidak tergenang airnya lebih dari 2 bulan atau bila terjadi kemarau
panjang.
2.3.2. Jenis
Tanah Dan Karakteristiknya
Jenis tanah yang umum dijumpai di lahan lebak adalah
tanah mineral dan gambut. Tanah mineral bisa berasal dari endapan sungai atau
bisa berasal dari endapan marin, sedangkan tanah gambut di lapangan bisa berupa
lapisan gambut utuh atau lapisan gambut berselang seling dengan lapisan tanah
mineral. Tanah mineral memiliki tekstur liat dengan tingkat kesuburan alami
sedang - tinggi dan pH 4 - 5 serta drainase terhambat - sedang. Setiap tahun,
lahan lebak umumnya mendapat endapan lumpur dari daerah di atasnya, sehingga
walaupun kesuburan tanahnya umumnya tergolong sedang, tetapi keragamannya sangat
tinggi antar wilayah atau antar lokasi. Pada umumnya nilai N total
sedang-tinggi, P tersedia rendah-sedang, K-tersedia 10-20 ppm sedang, dan KTK
sedang-tinggi. Lahan lebak dengan tanah mineral yang berasal dari endapan
sungai cukup baik untuk usaha pertanian. Sedangkan lahan lebak dengan tanah
mineral yang berasal dari endapan marin biasanya memiliki lapisan pirit (FeS2)
yang berbahaya bagi tanaman karena bisa meracuni tanaman terutama bila letaknya
dekat dengan permukaan tanah. Oleh karena itu, reklamasi dan pengelolaan lahan
ini harus dilakukan secara cermat dan hati-hati agar tanaman bias tumbuh dan
memberikan hasil yang baik (Alkasuma et al, 2003, Alihamsyah, 2005).
Tabel 1. Karakteristik dominan tanah
lahan lebak di berbagai wilayah di Indonesia
Wilayah Tekstur tanah Jenis tanah pH tanah Drainase
Kalimantan
Selatan Liat Mineral, gambut 4-5 Terhambat-sedang
Kalimantan
Barat Debu berliat Mineral, gambut
4-5 Sedang
Sumatera
Selatan Liat Mineral 5 Terhambat-sedang
Sumatera
Barat Pasir berliat Gambut,
mineral 5-5,2 Sedang
Lampung
Liat Mineral 5 Terhambat-sedang
Jambi Liat Mineral 5 Terhambat-sedang
2.3.3. Potensi
Dan Permasalahan Lahan Lebak
Lahan lebak adalah lahan yang rejim airnya
dipengaruhi oleh topografi dan hujan, baik yang turun setempat maupun di daerah
sekitarnya dan mempunyai topograpi yang relatif rendah (cekung). Potensi luas
lahan lebak berdasarkan studi dari Bank Dunia tahun 1998 adalah sekitar 13,316
juta ha, yang tersebar di Pulau Sumatera seluas 2,786 juta ha, Kalimantan
seluas 3,580 juta ha dan Papua seluas 6,305 juta ha (Gambar 1). Berdasarkan data
Gambar 1, terlihat bahwa dengan potensi lahan lebak yang sangat luas, maka
apabila sekitar 10% saja dapat dikelola dengan baik dengan intensitas tanam
meningkat dari 0 kali menjadi 1 kali, maka dapat menghasilkan produksi padi
sekitar 2.663.200 ton atau 5.326.400 ton dari 1 kali menjadi 2 kali tanam
dengan rata-rata produktivitas 2 ton/ha. Hasilnya akan terjadi lompatan
produksi yang sangat signifikan, apabila produktivitasnya bisa direalisasikan
mencapai 3 ton/ha atau bahkan 4 ton/ha sehingga produksi pangan nasional dapat
ditingkatkan secara meyakinkan.
Usaha-usaha untuk mengembangkan dan mengelola lahan
rawa lebak khususnya untuk sektor pertanian memang menjadi persoalan yang
memerlukan penanganan yang serius dan hati-hati. Beberapa hal yang perlu diperhatikan
antara lain, karena rawa lebak mempunyai kendala atau faktor penghambat
diantaranya yang harus diselesaikan terlebih dahulu. Kendala tersebut antara
lain:
1.
Umumnya mempunyai rejim air yang
fluktuatif dan sulit diduga serta resiko kebanjiran (flooding) di musim
hujan dan kekeringan di musim kemarau. Dengan kondisi biofisik yang demikian,
maka pengembangan lahan rawa lebak untuk usaha pertanian khususnya tanaman
pangan, hortikultura, peternakan dan perikanan dalam skala luas memerlukan
pengelolaan lahan dan air serta penerapan teknologi yang sesuai dengan kondisi
wilayahnya (spesifik lokalita) agar diperoleh hasil yang optimal.
2.
Kondisi sosial ekonomi masyarakat serta
kelembagaan dan prasarana pendukung yang umumnya belum memadai (kurang/belum
berjalan) atau bahkan belum ada. Terutama menyangkut kejelasan kepemilikan
lahan, keterbatasan tenaga (petani sambilan) dan modal kerja serta sarana
produksi, prasarana dan sarana irigasi dan perhubungan serta pasca panen (post
harvesting) dan pemasaran hasil pertanian.
3.
Dijumpai adanya kemampuan pemerintah
daerah dan petani yang belum sepenuhnya memahami bagaimana karakteristik dari
lahan rawa lebak dan juga teknologi yang tersedia dan cocok dalam pengelolaan
lahan dan air untuk pertanian yang mempunyai kearifan lokal (local wisdom).
4.
Adanya penanganan yang tidak serius
dalam pengelolaan lahan rawa lebak baik menyangkut dokumentasi, administrasi
dan teknologi yang telah dan pernah dilakukan oleh masyarakat lokal maupun
pendatang dalam suatu area tertentu, sehingga tidak adanya acuan yang dapat
dipedomani dalam pengembangan lahan rawa lebak pada lokasi lain.
5.
Masih dijumpai penanganan pengelolaan
rawa lebak secara sektoral tanpa melibatkan dari berbagai unsur sehingga tidak
terintegrasi atau kurangnya dukungan dari sector-sektor atau pihak-pihak
terkait lainnya.
2.3.4. Pengelolaan
Air Lahan Rawa Lebak
Lahan rawa lebak yang merupakan dataran banjir
sungai dengan beda muka air antara musim hujan dan musim kemarau lebih dari 2 m
disamping itu juga merupakan dataran rendah dengan ketinggian 3 – 5 m di atas
permukaan laut. Daerah lebak ini adalah daerah entrapped/encloced inundation
dimana dibagian lain merupakan daerah tinggi dengan ketinggian hingga 20 m,
sehingga fisiografinya merupakan cekungan dengan batas daerah tinggi yang berlereng
4–10%, dengan kata lain tidak ada pengaruh nyata dari pasang surut air laut.
Air sungai yang melimpahi dataran rawa lebak miskin sulfat, sehingga dataran
rawa lebak tidak memperlihatkan endapan sulfida seperti pada daerah pasang
surut. Lahan rawa lebak adalah merupakan sebagian kecil sekitar 5% areal dari
ekosistem DAS, dimana terdapat pengendapan bahan yang diangkut air dari
perbukitan. Tanah rawa lebak umumnya tergolong alluvial hidromorf dan gley
humus rendah. Berdasarkan kedalaman dan lamanya genangan, maka lahan rawa lebak
dibedakan manjadi 3 (tiga) tipe:
1.
Lebak Pematang/Dangkal:
Daerah yang terletak dibagian yang lebih tinggi
dimana saat menjelang akhir musim hujan daerah ini sering kali airnya sudah
surut dan telah dapat diusahakan, tetapi cepat sekali mengalami kekeringan.
Biasanya tinggi genangan airnya kurang dari 50 cm selama kurang dari 3 bulan.
2.
Lebak Tengahan:
Daerah pada bagian cekungan yang umumnya pada
pertengahan musim kemarau masih digenangi air tetapi mengering pada masa panen.
Dengan tinggi genangan airnya antara 50-100 cm selama 3-6 bulan.
3. Lebak
Dalam:
Daerah pada bagian cekungan dalam dimana surutnya
air lebih lambat sehingga pada masa panen masih terdapat genangan air di
petakan sawah. Lebak ini mempunyai tinggi genangan airnya lebih dari 100 cm
selama lebih dari 6 bulan. Lebak pematang dan lebak tengahan cocok untuk
diusahakan pertanaman padi dan palawija, tetapi untuk rawa lebak dalam biasanya
diusahakan untuk kolam ikan dan usahatani ikan dan peternakan itik baik petelur
maupun pedaging ataupun ternak kerbau rawa jika memungkinkan. Untuk itu sebelum
dilakukan pengembangan lebih lanjut, maka langkah-langkah yang harus perhatikan
adalah sebagai berikut:
1)
Identifikasi dan pengelompokan wilayah
lebak berdasarkan tipologi lahan, biologi dan fisik lahan, sistem usahatani
yang existing, kelembagaan serta sarana dan prasarana yang tersedia.
Informasi-informasi ini sangat penting dikumpulkan yang menyangkut jenis dan
kondisi tanah yang dipetakan dengan disertai area yang tergenang kapan, berapa
lama, serta dalamnya genangan. Sistem usaha tani yang meliputi pemanfaatannya,
pola usahatani (farming system) dan penerapan teknologinya, hasil dan
pendapatan dari komoditas yang diusahakan, ketersediaan modal untuk berusaha tani,
sarana produksi dan pemasaran hasil, keterlibatan petani/kelompok tani dalam koperasi
dan masalah-masalah yang dihadapi sekaligus potensi dan prospek serta kendala
pengembangan lahan rawa lebak. Informasi sarana dan prasarana juga dikumpulkan
yang menyangkut tata letak dan fungsi saluran, keadaan saluran meliputi panjang
dan jarak antar saluran serta dimensi penampang saluran, letak dan kondisi pintu
air atau bangunan air lainnya, operasi dan pemeliharaan jaringan air, luas
cakupan lahan dan penataannya, dan persepsi dan saran petani mengenai
penyempurnaan tata airnya.
2)
Desain dan rancangan pengembangan, Dari
hasil identifikasi dan pengelompokan wilayah lebak baik dari aspek biofisik dan
hidrotopografinya, maka rancangan dan desain pengelolaan lahan rawa lebak dapat
dibuat dengan prinsip kesesuaian lahan dengan memperhatikan kawasan permukiman,
kawasan budidaya baik untuk tanaman pangan, hortikultura dan peternakan maupun
perikanan. Selain itu juga harus menyisakan area atau kawasan konservasi,
sehingga jelas dimana area yang selalu tergenang, tempat bangunan irigasi, arah
dan sumber air irigasi, pintu-pintu air, saluran pemberi dan pembuang (drainase),
area water retention, jalan usaha tani, rancangan pola tanam (padi –
padi, padi – palawija dan padi – hortikultura). Tidak kalah pentingnya untuk
memberikan contoh pengembangan atau pemanfaatan lahan rawa lebak yang optimal,
maka model pengembangan harus diinstall di area yang mempunyai karakteristik
berbeda-beda, sehingga model ini dapat diadopsi oleh para penyuluh maupun
petani sekitar lokasi, karena mereka dapat melihat langsung cara
pengelolaannya. Hal penting yang mesti diperhatikan juga adalah pengembangan
suatu lahan rawa lebak tidak akan mematikan kebiasaan yang telah dilakukan oleh
petani atau masyarakat yang mempunyai nilai positif (indegenous knowledge),
karena tiap lokasi atau daerah mempunyai kearifan lokal yang berbeda-beda
sehingga penanganan yang diaplikasikan juga memperhatikan spesifik lokasi.
Sebaliknya hal-hal yang bernilai negatif yang ada dimasyarakat kita arahkan
untuk menjadi nilai positif yang sangat bermanfaat bagi pengembangan lahan rawa
lebak lebih lanjut.
3)
Penumbuhan kelembagaan, peningkatan
pengetahuan dan partisipasi petugas dan petani. Penumbuhan kelembagaan
penunjang yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat oleh dari dan untuk
petani/kelompok tani sangat diperlukan tentunya dengan partisipasi aktif mereka.
Kelembagaan tersebut dapat berupa kelembagaan petani, P3A, sarana produksi, pelayanan
jasa alsintan, pasca panen dan pemasaran hasil serta keuangan atau permodalan. Peningkatan
pengetahuan yang berupa pelatihan dan pembinaan secara intensif pada area model
meliputi sekolah lapang dan temu lapang bagi petani/kelompok tani sangat diperlukan,
demikian juga pelatihan bagi petugas baik dari semua tingkatan seperti TOT untuk
petugas propinsi, pelatihan aspek teknis pengelolaan lahan lebak oleh petani untuk
petugas kabupaten serta pelatihan bagaimana mendorong dan mengaktifkan kembali
partisipasi petugas dan petani dalam pengelolaan lahan lebak.
4)
Monitoring dan evaluasi
Kegiatan monitoring dan evaluasi merupakan hal paten
yang mesti harus ada karena merupakan deliniasi tujuan maupun arahan
pengembangan lahan lebak agar tidak melenceng dari yang diharapkan. Kegiatan
yang dilakukan harus dilengkapi informasi sebelum (before) dan sesudah (after)
proyek baik ruang (spatial) maupun waktu (temporal). Kegiatan ini
akan dapat dievaluasi sehingga ke depan dapat dibuat scenario skenario pengembangan
lanjutannya.
Pengelolaan
air atau lengas tanah di lahan rawa lebak dapat dilakukan melalui :
1)
Pembuatan saluran atau parit
dan pengaturan air di dalam saluran,
2)
Pembuatan saluran cacing atau
kemalir di petakan lahan,
3)
Pemberian air kepada tanaman
pada musim kemarau,
4)
Pemberian mulsa di petakan
lahan. Pemilihan teknologi pengelolaan air didasarkan kepada jenis tanaman,
musim tanam, dan ketersediaan airnya. Pemberian air pada musim kemarau dapat
dilakukan dengan pemompaan dari saluran ke petakan lahan atau dengan teknik penyiraman
menggunakan gembor maupun teknik irigasi tetes.
Pengelolaan air yang baik dapat mendukung pengaturan pola tanam dan
waktu tanam yang sesuai. Hal ini dengan sendirinya dapat meningkatkan indeks
pertanaman (IP) tiap musim tanam sehingga produksi pertanian pertahun
meningkat. Akhirnya dengan pengelolaan air yang baik maka pendapatan petani
juga meningkat.
Gambar.6. Pemanfaatan Rawa Lebak Untuk Pertanian
Kebijakan
Pengembangan Lahan Rawa Lebak
Paling tidak ada tiga aspek penting yang harus dilakukan
perubahan mendasar berkaitan dengan revitalisasi lahan rawa lebak : (1)
revitalisasi sumberdaya manusia (jumlah, jenis dan kualitas), (2) program dan
(3) pendanaan.
1. Revitalisasi
Sumberdaya Manusia
Salah satu kekeliruan besar yang pernah dilakukan
kita bersama dalam pengembangan lahan rawa lebak adalah: tidak seimbangnya
antara ketersediaan tenaga kerja dengan program dan pendanaan yang tersedia.
Pada tahun 1980 an pemerintah membuka secara besar besaran lahan rawa tanpa
diimbangi dengan ketersediaan tenaga kerja yang memadai. Berkaitan dengan
kondisi sumberdaya manusia (SDM) petani, maka tanpa peningkatan jumlah petani
pengelola rawa yang signifikan, maka lahan rawa akan tetap seperti sekarang
ini. Apalagi, sebagian besar lahan rawa umumnya merupakan daerah terpencil (remote
area) yang aksebilitasnya minimal, sehingga posisi lahan rawa menjadi
kurang menarik bagi siapapun, kecuali orang yang benar benar memiliki motivasi
tinggi dan atau terpaksa. Secara berjenjang, maka kebutuhan SDM lahan rawa lebak,
maka ada tiga komponen yang harus dipenuhi: (1) SDM pelaksana lapang (petani),
SDM penyuluh dan SDM pengelola (pengambil kebijakan, perencana dan pengembang).
Rendahnya minat petani untuk bekerja di lahan rawa lebak didasari fakta bahwa,
meskipun produk pertanian yang dihasilkan sangat menjanjikan, karena biaya
angkut mahal, maka nilai tambah produksi tidak bisa dinikmati petani. Kondisi
ini menyebabkan minat masyarakat untuk mengembangkan lahan rawa lebak sangat
terbatas. Jumlah petani/transmigran yang meningggalkan lahan rawa jumlahnya
paling banyak dibandingkan transmigrasi untuk agroekosistem non rawa. Kondisi
ini harus dipecahkan bersama apabila lahan rawa lebak akan diberdayakan
potensinya. Logika praktisnya dalam pengembangan lahan rawa lebak adalah:
bagaimana lahan rawa lebak memiliki daya tarik untuk ditingali oleh siapapun
baik petani maupun non petani. Melalui pendekatan ini, maka pemerintah tidak
hanya berbicara sektor pertanian saja, melainkan juga sudah melakukan
pendekatan menyeluruh tentang pengembangan wilayah termasuk mengintegrasikan
sektor industri, perdagangan dan jasa serta perhubungan yang seringkali justru
menjadi kendala utamanya.
2.
Revitalisasi Program
Secara praktis revitalisasi program pengembangan
lahan rawa dapat dilakukan berdasarkan master plan program yang dikeluarkan
oleh Bappenas Melalui master plan yang jelas, maka setiap sektor dapat
mengambil posisi dan peran strategisnya untuk pengembangan lahan rawa, sehingga
memunculkan sinergi dan bukan sebaliknya kontradiksi. Keputusan politis
pengembangan rawa lebak ini harus didengungkan dan dikampanyekan terus menerus
agar pamornya tidak terkalahkan dengan lahan sawah atau lahan kering. Berkaitan
dengan revitalisasi program, maka dalam berbagai kesempatan telah ada kesepahaman
bahwa tanpa ada koordinasi yang harmonis antar pemangku kepentingan, program
ini tidak akan berjalan mulus sesuai yang diharapkan.
3.
Revitalisasi Pendanaan
Revitalisasi pendanaan telah dilakukan secara
signifikan oleh departemen pertanian dengan dibentuknya Direktorat Jenderal
Pengelolaan Lahan dan Air yang di dalamnya terdapat Direktorat Pengelolaan Air.
Secara signifikan alokasi dana pengelolaan air sekitar 60% dari total
Direktorat Jenderal PLA. Sedangkan khusus untuk tata air mikro (TAM) mencapai
sekitar 20% dari dana tersebut, sehingga secara operasional, dukungan pendanaan
pengelalaan lahan rawa sudah in line dengan semangat untuk pengembangan lahan
rawa. Untuk mengefektifkan pelaksanaan program pengelolaan air, maka dipilih
program padat karya sebagai terobosannya.
Daftar Pustaka
Annoname. 2008. http://www.o-fish.com/air/salinitas.phpl,
2008. Diakses 21
April 2014.
Annoname. 2008. http://awangmaharijaya.wordpress.com/, 2008.
Diakses 21
April 2014.
Ahmadi dan Irsal Las. Inovasi
Teknologi Pengembangan Pertanian Lahan Rawa
Lebak. Balittra.
Gatot Irianto. Kebijakan
dan Pengelolaan Air dalam Pengembangan Lahan Rawa
Lebak. Direktorat
Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air Departemen Pertanian.
Muslihat, L. 2004. Sistem Pengelolaan
Tata Air Di Lahan Gambut Untuk
Waluyo dkk.
2008. Fluktuasi Genangan Air Lahan Rawa Lebak dan Manfaatnya
bagi Bidang Pertanian di Ogan Komering Ilir. Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar